Bisnis.com, JAKARTA -- Komisaris Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk. atau BSI (BRIS) Muliaman D. Hadad yang pernah menjadi Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2013-2017 mengungkapkan di tengah pesatnya pertumbuhan digitalisasi layanan keuangan, regulasi yang memayunginya menjadi tantangan tersendiri.
"Banyak payung regulasi yang saling bersinggungan bagi ragam pelaku," ujarnya dalam webinar Road To BIFA 2023, Layanan Finansial Digital: Antara Kemudahan dan Ancaman pada Senin (21/8/2023).
Regulasi yang diterapkan oleh regulator di Indonesia seperti OJK dan Bank Indonesia (OJK) dikhawatirkan berimplikasi regulatory overkill. Artinya, regulator terlalu ketat mengatur pesatnya layanan keuangan digital. "Hal ini membuat industri tidak berkembang," tutur Muliaman.
Akan tetapi, regulator pun jangan sampai terlalu longgar dalam mengatur setiap layanan keuangan digital. Sebab, muncul ancaman dari setiap perkembangan layanan digital, seperti ancaman serangan siber. "Maka, peraturan harus diset-up. Itu adalah tantangan kita," ujar Muliaman.
Dia pun menjelaskan sejumlah cara agar regulasi bisa seimbang. Regulator misalnya harus mempunyai regulatory framework yang fleksibel. "Menggambarkan kemudahan berinovasi, tapi di sisi lain tidak boleh melupakan aspek proteksi," ujarnya.
Selain itu, gencar melakukan edukasi dan perlindungan konsumen, melakukan assesment serta manajemen risiko. Lalu, kolaborasi informasi, inovation sandbox, hingga secara berkelanjutan melakukan monitoring serta adaptasi.
"Apa yang saya lihat di berbagai negara, ada kebutuhan setiap saat dalam melakukan review perkembangan teknologi terbaru. Para leader di perusahaan juga harus proaktif adaptable menyikapi perkembangan digital," ujar Muliaman.
Deputi Direktur Direktorat Penelitian Departemen Pengaturan dan Pengembangan Perbankan OJK Zulkifli Salim mengatakan dalam menyikapi perkembangan digitalisasi layanan keuangan, OJK pun mengeluarkan sejumlah kebijakan yang diupayakan seimbang. Di perbankan, OJK misalnya mempunyai Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan resmi diluncurkan pada 2021.
Cetak biru itu disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek, seperti studi tentang masa depan perbankan, kondisi digitalisasi perbankan, standar internasional, best practices industri, masukan stakeholder, dan harmonisasi kebijakan.
"Dari cetak biru disampaikan ada domain tatanan institusi, ini mencakup finance dan IT investment. Kemudian di situ ada talenta digital terkait perlunya upskilling dan reskilling," ujar Zulkifli.
Sebagaimana diketahui, digitalisasi layanan keuangan telah berkembang pesat. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), nilai transaksi digital mencapai Rp13.827 triliun pada Juni 2023, tumbuh 11,6 persen secara tahunan (year on year/yoy). Pada uang elektronik, nilai transaksinya pada kuartal II/2023 juga meningkat 14,82 persen yoy menjadi Rp111,35 triliun.
Kemudian, nominal transaksi QRIS tumbuh 104,64 persen atau dua kali lipat yoy sehingga mencapai Rp49,65 triliun. Jumlah pengguna QRIS sendiri mencapai 37 juta dan jumlah merchant 26,7 juta yang sebagian besar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Sementara, mengacu data Google, Temasek, dan Bain bertajuk e-Conomy Southeast Asia 2022 nilai transaksi teknologi keuangan (fintech) di Indonesia mencapai US$239,4 miliar. Nilainya kemudian akan berkembang hingga mencapai US$421 miliar pada 2025.