Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang menggodok aturan mengenai transparansi suku bunga kredit perbankan. Berdasarkan draf yang sudah dipublikasikan, terdapat ketentuan bank mesti menyampaikan laporan publikasi suku bunga kredit di media sosial resminya.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengatakan aturan transparansi suku bunga bank itu memang belum terbit.
"Tapi drafnya sudah ada. Ini terkait masalah transparansi, bagaimana bank menetapkan komponen-komponen bunga," ujar Dian pada Selasa (14/11/2023) di Jakarta.
Ia mengatakan bahwa dalam aturan baru itu tidak ada batas atas dan batas bawah suku bunga kredit bank. "Akan tetapi yang terpenting masyarakat itu harus tahu. Jadi ada perlindungan konsumen atas persaingan antar bank satu sama lain dalam menawarkan bunga. Secara perhitungannya itu yang akan kita atur," tutur Dian.
Ia memastikan bahwa aturan itu tidak lama lagi terbit. "Tidak lama lagi, mungkin beberapa bulan lagi," ujar Dian.
Mengacu draf yang telah dipublikasikan di situs resmi OJK, terdapat berbagai ketentuan dalam regulasi baru itu. Bank umum konvensional (BUK) misalnya wajib menyusun, mengumumkan, dan menyampaikan laporan publikasi suku bunga dasar kredit (SBDK).
Baca Juga
Laporan publikasi SBDK BUK dirinci dalam komponen informasi yang di antaranya harga pokok dasar kredit atau biaya dana (cost of fund), biaya overhead, margin keuntungan, hingga rata-rata suku bunga kredit realisasi.
Perhitungan SBDK hanya berlaku untuk kredit yang diberikan dalam mata uang rupiah. Sementara laporan publikasi SBDK itu disajikan per jenis kredit, seperti kredit korporasi, kredit ritel, hingga kredit pemilikan rumah (KPR).
Kemudian, terdapat ketentuan bahwa BUK wajib mengumumkan laporan publikasi SBDK terkini pada situs web, setiap kantor bank, dan pada kanal digital, yang ditempatkan pada lokasi yang mudah diliat oleh nasabah. Selain itu menyampaikan laporan publikasi SBDK kepada OJK melalui sistem pelaporan OJK.
Pengumuman yang dilakukan oleh bank pada kanal digital, di antaranya di media sosial resmi serta layanan perbankan digital sesuai dengan ketentuan OJK.
Dalam draf regulasi itu, OJK juga dapat meminta bank untuk menyesuaikan batas waktu pelaporan, menyesuaikan periode suku bunga kredit dan SBDK, menyesuaikan ruang lingkup suku bunga kredit dan SBDK, serta menyesuaikan besaran suku bunga kredit dan SBDK berdasarkan pertimbangan tertentu. Di antara contoh pertimbangan tertentu adalah kebutuhan capping/ceiling dikarenakan kondisi perekonomian yang dihadapi di Indonesia.
OJK sendiri menerbitkan aturan tersebut di tengah upaya mengendalikan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) perbankan Indonesia yang dinilai tinggi. "Kebijakan ini diharapkan dapat berkontribusi dalam mengendalikan NIM perbankan saat ini," ujar Dian.
Sebelumnya, kabar soal margin bunga perbankan di Indonesia yang tinggi ini memang telah tersiar dan sampai ke telinga Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Tinggi banget, ini mungkin tertinggi di dunia," ujar Jokowi saat menyampaikan pidato pembukanya dalam acara PTIJK 2023, awal tahun ini (6/2/2023).
OJK sendiri mencatat NIM bank per September 2023 sebesar 4,85%. NIM perbankan di Indonesia memang tergolong tinggi dibandingkan negara lainnya. Melansir data The Global Economy, sepanjang tahun 2021 posisi NIM perbankan RI berada di urutan ke-31 tertinggi secara global.
Di wilayah se-Asia Tenggara, posisi NIM perbankan RI duduk di urutan ke-dua atau mengekor di belakang Kamboja dengan margin bunga bersih pada 2021 sebesar 5,35% atau selisih 29 basis poin (bps).