Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

UOB hingga DBS Group Cegah Penipuan via Lock Up Savings, Sudah Tersedia di Indonesia?

Lock up savings memungkinkan nasabah dapat mengunci dana mereka menggunakan aplikasi atau internet banking.
Pengunjung memperoleh penjelasan dari tim Wealth Management PT Bank UOB Indonesia mengenai update pasar terbaru dan wawasan investasi yang mendalam./Bisnis/Himawan L Nugraha.
Pengunjung memperoleh penjelasan dari tim Wealth Management PT Bank UOB Indonesia mengenai update pasar terbaru dan wawasan investasi yang mendalam./Bisnis/Himawan L Nugraha.

Bisnis.com, JAKARTA -- Tiga bank besar yang merupakan bagian dari kelompok keuangan Singapura, yakni DBS, OCBC dan UOB mengumumkan fitur penguncian uang baru alias ‘lock up savings’ bagi nasabah mulai pekan lalu, (27/11/2023). Lantas, apakah fitur ini tersedia di Indonesia?

Melansir dari Channel News Asia, fitur ini memungkinkan nasabah dapat mengunci dana mereka menggunakan aplikasi atau internet banking.

Tujuannya adalah untuk melindungi nasabah dari penipuan, terutama penipuan yang melibatkan akses digital yang tidak sah ke rekening nasabah.

“Dengan mengunci tabungan, nasabah harus mengunjungi cabang bank secara fisik untuk membuka kembali akses atau menarik dana,” demikian isi pengumuman tersebut yang dikutip Minggu (10/10/2023).

Adapun, Otoritas Moneter Singapura (MAS) menjelaskan meskipun ini mungkin kurang nyaman bagi nasabah, tetapi fitur ini memang dirancang untuk memberikan tingkat keamanan yang lebih tinggi terhadap potensi penipuan. 

Pasalnya, penipuan kini menjadi isu utama Singapura. Tercatat, pada paruh pertama 2023, terdapat 22.339 kasus penipuan dengan total kerugian mencapai 330 juta dolar Singapura. 

Bahkan, hampir 750 korban kehilangan lebih dari 10 juta dolar Singapura usai menjadi korban penipuan malware selama periode tersebut.

Lantas, apakah fitur ini tersedia di Indonesia?

Consumer Banking Director UOB Indonesia Henry Choi mengatakan fitur Lock Up savings yang baru-baru ini diluncurkan oleh UOB Group merupakan upaya Bank dalam merespon ketentuan MAS di Singapura terkait mencegah ancaman fraudster dalam pencurian dana nasabah di rekening Bank.

“Saat ini UOB Indonesia belum memiliki produk serupa dan hal tersebut masih dipelajari efektivitasnya khususnya untuk market di Indonesia,”katanya pada Bisnis, Minggu (10/12/2023).

Adapun, saat ini Henry menyebut untuk menjaga keamanan rekening, nasabah Tanah Air telah dapat mengatur limit harian untuk transfer dana sesuai dengan preferensi dan kebutuhan nasabah.

  Menurut Henry, hal tersebut juga bisa dilakukan guna menjaga kemungkinan terjadinya pengurasan rekening yang dilakukan oleh fraudster.

“Kerahasiaan data nasabah merupakan prioritas utama kami dan kami selalu memastikan bahwa data kepemilikan produk dan dana nasabah yang disimpan di UOB Indonesia tetap aman,” katanya.

  Hal serupa juga disampaikan oleh PT Bank DBS Indonesia, di mana pihaknya belum memiliki produk serupa. 

Akan tetapi, Head of Digibank Erline Diani menyebut bahwa keamanan pelanggan dan privasi data dan DBS selalu menempatkan ini sebagai prioritas utama.

“Kami menerapkan alat keamanan multi-layer,” ujarnya pada Bisnis.

Di mana, keamanan multi-layer tersebut mulai dari verifikasi biometrik selama onbarding, soft-token untuk membatasi akses dan transaksi dari perangkat tertentu hingga melindungi aplikasi dengan fitur keamanan untuk memastikan tidak dapat berjalan pada rooted device

Teranyar, pihaknya juga sedang sedang mengembangkan sistem deteksi anti-malware untuk memperingatkan pelanggan jika perangkat mereka terancam.

“Dan kami juga secara proaktif mengedukasi pelanggan kami tentang tren terbaru tentang penipuan digital sehingga mereka memahami bagaimana melindungi akses bank digital mereka,” ucapnya.

Sebagaimana diketahui, sektor perbankan memang kerap menjadi salah satu sektor yang rawan terkena serangan siber.

Berdasarkan data dari Checkpoint Research 2022, sektor jasa keuangan termasuk perbankan mendapatkan 1.131 kali serangan siber setiap pekannya.

Sementara, data International Monetary Fund (IMF) pada 2020 menyebutkan total kerugian rata-rata tahunan akibat serangan siber di sektor jasa keuangan secara global mencapai sekitar US$100 miliar.

  Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Pratama Persadha mengatakan sektor perbankan memang menjadi sasaran empuk bagi pelaku kejahatan siber karena mempunyai nilai ekonomi yang besar. 

“Perbankan selalu akan dilihat pertama, karena ini adalah industri yang berjalan berdasarkan kepercayaan dan keamanan,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper