Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa waktu terakhir, terdapat rencana sejumlah bank umum syariah di Indonesia untuk melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Mulai dari Bank Muamalat, Bank Mega Syariah, Bank Jabar Banten Syariah (BJB Syariah), hingga bank syariah yang baru berdiri yaitu Nanobank Syariah.
Langkah bank-bank tersebut sejalan dengan arah pengembangan sektor keuangan yang disusun OJK dalam Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia tahun 2023—2027 dan Roadmap Pasar Modal Indonesia 2023—2027.
Dalam Roadmap Perbankan Syariah tersebut, salah satu strateginya yaitu konsolidasi bank syariah yang dilakukan melalui pemenuhan modal inti.
Pemenuhan permodalan dapat dilakukan salah satu-nya melalui strategi Initial Public Offering (IPO) di BEI.Kemudian, dalam Roadmap Pasar Modal Indonesia, target utama yang ingin dicapai pada tahun 2027 adalah kapitalisasi pasar (market cap) sebesar Rp15.000 triliun serta jumlah perusahaan tercatat mencapai 1.100 perusahaan.
Saat ini, kapitalisasi pasar modal Indonesia mencapai Rp11.000 triliun dengan 903 perusaha-an tercatat (OJK, Desember 2023). Oleh karena itu, mela-lui strategi IPO tersebut, perbankan syariah turut berkon-tribusi dalam mencapai kedua target utama pasar modal Indonesia.
Baca Juga
Di samping itu, rencana aksi korporasi tersebut sejalan dengan rencana aksi Roadmap Pasar Modal, yaitu peningkatan jumlah lembaga keuangan syariah yang ber-peran di pasar modal syariah. Sebab, bila keempat bank di atas sukses melantai di bursa, maka emiten ‘murni’ syariah bertambah dari lima menjadi sembilan emiten.
Tak hanya itu, langkah IPO yang akan dilakukan oleh bank syariah merupakan salah satu cara meraih alter-natif sumber permodalan, selain penerbitan Sukuk kor-porasi. Sebab, di tengah era suku bunga acuan yang tinggi, biaya penerbitan Sukuk korporasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan pendanaan melalui IPO, khususnya dari sisi imbal hasil yang akan ditawarkan.
Selain itu, selama setahun terakhir, pertumbuhan DPK di industri perbankan baik konvensional maupun syariah tumbuh terbatas (BSI, 2023). Hal ini mengakibatkan terjadinya perebutan dana murah untuk pemenuhan likuiditas di masing-masing bank. Maka, pemenuhan likuiditas selain Dana Pihak Ketiga dalam bentuk dana segar dari bursa merupakan salah satu alternatif strategis yang dapat dilakukan bagi bank syariah.
Dengan demikian, likuidi-tas akan makin terjaga serta maturity gap antara pehimpunan dana dan pembiayaan yang disalurkan dapat lebih terkontrol.Kemudian, melalui IPO, visibilitas perbankan syariah Indonesia turut meningkat baik secara nasional mau-pun internasional.
Dengan bertambahnya bank syari-ah yang terdaftar di bursa, potensi investor industri perbankan syariah ke depan tidak hanya berasal dari domestik, tetapi juga dari global, khususnya investor syariah dari regional Timur Tengah hingga Afrika Utara.Namun, apakah langkah perbankan syariah untuk melantai di bursa sudah tepat?
Dalam hal ini, bank-bank syariah yang akan melakukan IPO perlu men-cermati beberapa hal sebelum melaksanakan aksi kor-porasinya. Pertama, penyusunan rencana dan eksekusi pasca-IPO perlu dilakukan dengan matang. Hal ini perlu dilakukan, untuk menarik investor potensial sehingga target penghimpunan dana melalui IPO dapat diraih.
Kedua, apa langkah strategis berikutnya pasca IPO? Apakah melakukan konsolidasi dengan bank syariah lain atau hanya fokus pada peningkatan aset dan kinerjanya? Sebab, salah satu strategi penguatan industri perbankan syariah yang disusun oleh OJK ada-lah konsolidasi bank syariah. Maka, sebaiknya konsilidasi dilakukan oleh bank syari-ah sebelum melakukan IPO. Alasannya, terdapat konseku-ensi biaya dan kompleksitas tersendiri bila konsolidasi dilakukan pasca-IPO.
Ketiga, proses IPO di tengah tahun politik akan dipenuhi dengan tantangan dan keti-dakpastian. Meskipun secara historis indeks harga saham gabungan (IHSG) pada 2009, 2014, dan 2019 menunjukkan kondisi yang relatif stabil, bank syariah yang akan mela-kukan IPO perlu memperhatikan momentum yang tepat saat akan melantai di bursa berikut kinerja dan penjena-maan bank untuk menjaga stabilitas nilai pasar.
Jangan sampai hype IPO bank syariah hanya terjadi di masa-masa awal melantai, tetapi kinerja-nya makin turun. Oleh karena itu, beberapa hal perlu dilakukan baik bagi bank syariah yang telah dan akan melakukan IPO di kemu-dian hari. Pertama, positioningserta diferensiasi bank syariah dengan bank konvensional perlu diperjelas dan diperkuat.
Sudah saatnya bagi pelaku industri perbankan syari-ah untuk lebih matang dan menunjukkan perbedaannya secara jelas dengan bank kon-vensional setelah beroperasi di republik ini selama lebih dari 3 dekade. Akan tetapi, perbedaan pro-duk dan jasa yang ditawar-kan bank syariah tetap perlu memperhatikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah.
Sebab, bank syariah ter-papar dengan risiko reputasi yang berbeda dengan bank konvensional, yaitu risiko reputasi atas kepatuhan pada prinsip syariah.
Kedua, penguatan funda-mental masing-masing bank syariah adalah sebuah keniscayaan untuk menjaga keper-cayaan tidak hanya bagi nasa-bah, tetapi juga investor yang akan membeli sahamnya, sehingga kinerja saham bank syariah di bursa tetap terjaga. Ketiga, sistem dan layanan bank syariah yang telah IPO secara kualitas perlu diting-katkan.
Melalui penambahan permodalan dari masyarakat dan investor, bank syariah seharusnya dapat berinvestasi pada sistem teknologi informasi yang kuat dan mum-puni serta dapat meningkatkan kompetensi bankir syari-ah yang dimilikinya.Terakhir, koordinasi ber-kelanjutan antara regulator, pemerintah, dan bank syariah diperlukan khususnya dalam mendukung diferensia-si dan positioning perbankan syariah di Indonesia.
Melalui langkah-langkah tersebut, bank syariah tidak hanya sekadar hanya hadir di bursa, melainkan memberikan nilai terbaik bagi para stakeholder-nya. Semoga.