Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah bank asing di Indonesia berkomitmen untuk tidak menambah porsi pembiayaan ke sektor batu bara. Hal ini seiring dengan target nol emisi karbon atau Net Zero Emission (NZE) yang dicanangkan pemerintah.
Managing Director, Head of Global Corporate and Institutional Banking for Indonesia MUFG Bank, Ltd. Michael Sugirin mengatakan bahwa bank asing umumnya sudah lebih dulu mengambil langkah untuk menghentikan pembiayaan sektor batu bara, karena dorongan dari global yang lebih dulu datang.
“Dari MUFG-nya yang masih financing ke arah coal tinggal 10 [coal plan], tapi itu kan perlu transisi. Kita enggak paksa [berhenti] yang eksisting kita lihat progress dan kita bantu untuk transisi. Tapi [kredit baru] kita tidak,” ujarnya dalam Media Networking, Rabu (26/8/2024).
Berdasarkan catatan Bisnis, memang sejumlah bank-bank asing seperti PT Bank UOB Indonesia, di mana saham mayoritasnya dimiliki oleh United Overseas Bank asal Singapura, lalu Citi Indonesia sudah mulai secara terbuka dan aktif menyatakan komitmen mereka untuk menghentikan atau mengurangi pembiayaan ke sektor batu bara.
Bank UOB Indonesia sebelumnya juga menyatakan komitmennya untuk tidak menambah porsi pembiayaan ke sektor batu bara.
Pada kisaran kuartal akhir tahun lalu, Wholesale Banking Director UOB Indonesia Harapman Kasan mengatakan langkah ini dilakukan untuk mendukung pencapaian target program pemerintah, yaitu nol emisi karbon atau net zero karbon (NZE) pada 2060.
Baca Juga
"UOB ini memang punya policy untuk ikut Singapura dan Indonesia. Apalagi di Singapura [target program NZE] lebih awal yaitu 2050, sehingga 2039 kita komit harus exit batu bara," ujarnya pada awak media usai agenda UOB Gateway to ASEAN Conference 2023, Rabu (11/10/2023).
Dia pun menyebut untuk sisa waktu 16 tahun sebelum tenggat waktu yang ditentukan perusahaan, pihaknya bakal mendorong diversifikasi bisnis para nasabah korporasinya untuk beralih membidik sektor pertambangan lain, seperti nikel, emas bahkan masuk ke industri kendaraan listik (EV).
"Kendati demikian, nasabah-nasabah yang masih di sektor batu bara ya tetap saat kita continue. Kita nggak akan langsung exit, kita perlu pikirkan dampaknya," ucapnya.
Citibank, N.A., Indonesia (Citi Indonesia) juga melakukan perubahan strategis dalam pendekatan bisnis mereka terhadap sektor pertambangan, khususnya batu bara. Langkah ini diklaim untuk mendukung pencapaian target program pemerintah dalam Environment, Social, dan Governance (ESG).
Adapun, komitmennya ini sejalan dengan Citigroup secara global yang menyalurkan kredit ke segmen ESG sebesar US$1 triliun sampai 2030, di mana total pembiayaan sudah mencapai US$348,5 miliar per Desember 2022.
Meski akan melakukan pengurangan pendanaan ke sektor batu bara, namun hal itu tidak bisa sepenuhnya dilakukan secara sekaligus. Pasalnya, untuk saat ini batu bara tetap dibutuhkan setidaknya 10 hingga 30 tahun lagi sebagai sumber daya listrik.
Peningkatan Eksposur Sektor Batu Bara
Sebaliknya sebagian bank domestik termasuk bank negara justru menunjukkan peningkatan dalam eksposur mereka terhadap sektor batu bara.
Menanggapi hal tersebut, Michael menyebut bahwa ada bank-bank domestik sebenarnya telah memiliki kebijakan berkelanjutan.
Lebih lanjut, dia menyebut kenaikan eksposur terhadap sektor batu bara mungkin disebabkan oleh pergeseran pembiayaan, di mana bank-bank asing yang sudah berhenti menyalurkan kredit ke sektor ini beralih ke bank-bank Himbara.
“Mungkin karena bank asing sudah tidak lagi, jadi pindah ke Himbara. Tapi pasti akan ke arah sana [keberlanjutan], tapi tinggal waktu,” tandasnya.
Sebagaimana diketahui, kondisi penyaluran kredit di sektor pertambangan, khususnya batu bara masih meningkat di tengah gencarnya langkah perbankan dalam menyalurkan pembiayaan hijau di Tanah Air.
Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia (SPI) Juni 2024, total penyaluran kredit perbankan ke sektor pertambangan dan penggalian sekitar 8% dari total kredit.
Jika diasumsikan berdasarkan capaian kredit bank RI per Juni 2024 yang mencapai Rp7.478 triliun, maka kredit yang disalurkan ke sektor tambang mencapai Rp598,24 triliun. Itu artinya, angka ini naik Rp269,8 triliun atau tumbuh 82,15% dari bulan sebelumnya yaitu Mei 2024 yang mencapai Rp328,43 triliun.
Apabila dibandingkan secara tahunan, kredit ke sektor ini tumbuh 136,3% yoy dari periode yang sama tahun lalu yaitu Rp253,17 triliun per Juni 2023.
Sebenarnya tren penyaluran kredit tambang yang terus meningkat telah terlihat sejak 2021, di mana saat itu angkanya Rp153,8 triliun. Saat itu porsiannya hanya menyentuh 2,67% dari total kredit.
Kemudian, pada 2022 angkanya kembali naik menjadi Rp237,39 triliun atau tumbuh 54,35% yoy. Saat itu, porsiannya kembali meninggi menjadi 3,7% dari total kredit.
Pada Desember 2023, kredit ke sektor ini mencapai Rp290,47 triliun. Porsiannya mencapai 4,1% dari total kredit saat itu.
Selanjutnya, angka ini terus meningkat pada awal tahun yaitu Januari 2024 menjadi Rp298,44 triliun. Adapun, porsi kredit ini sebesar 4,23% dari total kredit.
Tren peningkatan ini terus berlanjut hingga lima bulan pertama 2024 yaitu Mei 2024, di mana kredit ke sektor pertambangan mencapai Rp328,43 triliun, tumbuh 28,09% yoy dari periode yang sama tahun lalu yaitu Rp256,41 triliun. Porsinya mencapai 4,45% dari total kredit.