Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SMF Ungkap Ada Risiko Mengintai di Balik Peluang Pembiayaan KPR Tumbuh saat BI Rate Turun

PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF mengungkap ada risiko mengintai di balik peluang pertumbuhan pembiayaan usai BI Rate turun ke 6%.
Warga melintas di dekat logo PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) di Jakarta, Kamis (20/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Warga melintas di dekat logo PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) di Jakarta, Kamis (20/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, BANDAR LAMPUNG - PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF mengungkap ada risiko mengintai di balik peluang pertumbuhan pembiayaan usai suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate turun di level 6%. Selain BI, The Fed juga memutuskan memangkas suku bunga menjadi 4,75%-5%.

Chief economist SMF Research Institute, Martin Daniel Siyaranamual menjelaskan penurunan suku bunga ini sudah pastiakan berdmapak positif ke sektor perumahan, di mana ketika suku bunga turun, suku bunga pinjaman, suku bunga KPR juga akan bergerak turun. Dengan demikian, menurutnya kemungkinan pasar pembiayaan dan perumahan untuk tumbuh di 2025 nanti cukup besar.

"Itu di satu sisi, arah positif dari sisi kebijakan moneter. Tapi di sisi lain, kita harus hari-hati. Kelas menengah kita tereduksi karena konsumsi terbesar kelas menengah, termasuk sektor perumahan," kata Martin dalam konferensi pers kinerja SMF Semester I/2024, di Lampung, Minggu (29/9/2024).

Adapun sentimen positif lainnya selain suku bunga turun adalah imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) yang juga menurun. Sebagai perusahaan yang menyalurkan pendanaan kepada bank penyalur KPR, Martin mengatakan pihaknya mendapatkan sumber dana dari pasar modal melalui penerbitan obligasi.

"Acuannya adalah obligasi pemerintah, SUN. Imbal hasilnya turun saat ini, ini bagus. Artinya untuk menerbitkan kita hanya perlu menawarkan dengan imbal hasil yang tidak terlalu tinggi," kata Martin.

Martin menjelaskan pada umumnya imbal hasil dari obligasi yang diterbitkan pihak swasta lebih tinggi dari pemerintah. Bila imbal hasil obilasi pemerintah turun, mereka juga akan mengikuti. Namun, Martin kembali mengingatkan ada risiko mengintip di balik peluang kedua ini.

"Pertanyaannya, apakah kondisi ini bisa dibawah sampai 2025. Ini yang masih belum kelihatan. Kenapa, karena kalau bicara soal SUN, dia pasti akan berkaitan erat dengan pembiayaan pemerintahan Indonesia yang akan datang," kata dia.

Martin mejelaskan pemerintah memiliki dua cara ketika memiliki beban pengeluaran yang besar. Pertama adalah dengan menaikkan pajak, atau cara kedua adalah dengan menerbitkan surat utang.

Dia berharap, cara yang diambil pemerintah adalah dengan mendorong penerimaan pajak sehingga kebutuhan penerbitan SUN tidak tinggi. "Ketika penerbitan SUN tidak tinggi, imbal hasil SUN turun, SMF juga bisa menikmati. Itu juga bisa dorong, kita juga bisa leverage, kita bisa ungkit lagi," kata Martin.

Adapun sejak 2009 hingga Juni 2024 SMF telah melakukan penerbitan obligasi sebanyak 63 kali dengan jumlah Rp64,95 triliun, terdiri dari 50 kali penerbitan obligasi/sukuk (penawaran umum) sebesar Rp60,16 triliun, 12 kali Medium Term Notes (Penawaran terbatas) sebesar Rp4,67 triliun (termasuk di dalamnya penerbitan Sukuk Mudharabah SMF I melalui penawaran terbatas), dan satu kali penerbitan Surat Berharga Komersial sebesar Rp120 miliar.

Martin melanjutkan, ada kasus anomali di mana ketika BI Rate turun tidak diikuti dengan penurunan imbal hasil SUN. Hal itu terjadi pada 2020 ketika ekonomi sedang terpuruk. Pihaknya berharap tahun depan kondisi ekonomi Indonesia tetap stabil, walaupun kebijakan ekonomi pemerintahan yang baru tetap punya andil besar.

"Harapannya tahun depan masih baik-baik saja, artinya imbal hasil SUN dan BI rate bisa turun. Tapi ini sangat tergantung bagi kebijakan pembiayaan pemerintahan yang akan datang," kata Martin.

Sementara itu, Direktur Ekonomi Center of Economic Law Studies (Celios), Nailul Huda mencatat beberapa momen Presiden terpilih Prabowo selalu menyampaikan akan menambah utang pemerintah hingga rasio utang ke PDB mendekati 50%.

Huda menjelaskan, untuk menarik uutang lebih laris maka ada dua kemungkinan yang bisa dilakukan. Pertama adalah dengan menurunkan risiko dari utang pemerintah melalui penguatan kelembagaan, dan kedua dengan memberikan kompensasi bagi investor yang tinggi. 

"Jika mengambil opsi yang kedua, pemerintah memberikan suku bunga yang tinggi, maka yang terjadi bunga obligasi badan usaha termasuk PT SMF akan cukup tinggi. Pada akhirnya akan memberatkan PT SMF untuk menarik utang dari masyarakat. Ini harus diperhatikan juga oleh tim Prabowo-Gibran," kata Huda kepada Bisnis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper