Bisnis.com, JAKARTA - Digitalisasi pada lembaga jasa keuangan lazim dilakukan untuk efisiensi bisnis dan mengoptimalkan pelayanan. Namun, digitalisasi dalam ekosistem lembaga keuangan mikro (LKM) yang notabene menjadi pembiayaan alternatif di perdesaan dihadapkan persoalan kompleks.
Burhan, Ketua Umum Asosiasi LKM/LKMS se-Indonesia (Aslindo) mengatakan digitalisasi memang bisa menjadi solusi dari borosnya beban operasional LKM. Namun di sisi lain, karakteristik masyarakat desa yang mengalami gap teknologi menjadi tantangan tersendiri.
"Jadi di desa itu kan banyak nasabah kita yang tidak bisa memakai ponsel. Rata-rata ibu-ibu, orang-orang di desa yang bekerja, maaf, di lini bawah itu rata-rata mereka gaptek tentang teknologi," kata Burhan, Kamis (28/11/2024).
Burhan menilai sebenarnya adaptasi digitalisasi pada proses bisnis LKM akan sangat membantu memudahkan dan mempercepat pelayanan. Pada akhirnya, beban operasional bisa ditekan dan LKM semakin efisien.
Pasalnya, proses bisnis LKM terhitung sangat boros. Hal itu terlihat dalam rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) pada LKM konvensional yang selalu di atas 90% dalam lima tahun terakhir, dari 2019 hingga 2023. Bahkan pada 2023 rasio BOPO tembus di 102,37%.
Angka tersebut lebih tinggi daripada rata-rata rasio BOPO perusahaan pembiayaan yaitu sebesar 76,89% pada Desember 2023.
Baca Juga
Sementara di LKM syariah, rasio BOPO dalam lima tahun terakhir berada di rentang 80-90%. Tingginya rasio BOPO ini disebabkan karena layanan kredit mikro dan ultra mikro membutuhkan biaya operasional yang cukup tinggi.
"BOPO ini penting, operasional, teman teman belum paham bahwa ini beban operasional terlalu tinggi, SDM-nya terlalu banyak, direksinya ada yang lebih dari tiga terlalu gemuk dari sisi itu.
Besarnya beban operasional LKM ini diperburuk dengan seretnya penyaluran kredit yang dipengaruhi oleh lesunya perdagangan skala mikro. Akibatnya, LKM mencetak kerugian.
LKM konvensional per Agustus 2024 mencatatkan rugi tahun berjalan sebesar Rp3,52 miliar. Kerugian itu melanjutkan rentetan tren pada periode sebelumnya yang juga mencatatkan rugi tahun berjalan sebesar Rp3,13 miliar per April 2024, Rp8,46 miliar per Desember 2023 dan rugi tahun berjalan sebesar Rp15,70 miliar per Agustus 2023.
Borosnya pengeluaran untuk operasional ini, kata Burha hingga saat ini belum bisa diselesaikan. Salah satu penyebabnya adalah faktor kompetensi SDM.
"Pemahaman tentang rasio beban operasional yang harus dikeluarkan itu sekian, dari aset sekian, [upah] SDM-nya sekian idealnya, terus biaya operasional lainnya termasuk investasi aset dan sebagainya, itu belum ada parameternya," pungkasnya.