Bisnis.com, JAKARTA - Wacana Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bank BJB dinilai perlu dilakukan jika ada masalah signifikan terkait Good Corporate Governance (GCG) atau isu integritas di jajaran direksi.
Hal itu disampaikan pengamat ekonomi dari Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB) Anggoro Budi Nugroho, menanggapi mencuatnya wacana RUPSLB Bank BJB pada Januari 2025.
“Saya tidak melihat, kecuali ada kasus terkait governance/integritas yang menjerat dewan direksi, hal tersebut harus dilakukan segera,” kata Anggoro.
Menurut dia, jika tidak ada hal mendesak, seperti kasus Lehman Brothers di luar negeri, RUPSLB sebaiknya dilakukan secara profesional tanpa intervensi kekuasaan.
Jika RUPSLB jadi digelar, Anggoro menilai ada beberapa catatan yang mesti dilakukan Bank BJB kedepan. Meski Bank BJB sebagai salah satu BPD yang sukses mandiri dan dipercaya menerbitkan surat berharga.
Beberapa catatan penting meliputi adanya penurunan ROA dan ROE. Di mana rasio profitabilitas tahunan terus menurun akibat penurunan laba. Beban bunga obligasi Bank BJB juga terus meningkat, yang berdampak pada mengecilnya EBITDA yang dapat dibagikan kepada pemegang saham.
Baca Juga
“Terkait kredit macet, baik secara bruto (gross) maupun bersih (net), rasio kredit bermasalah (NPL) menunjukkan tren kenaikan. Sementara Loan-to-Deposit Ratio (LDR) menurun. Hal ini mencerminkan penurunan fungsi intermediasi bank dalam menyalurkan kredit dari simpanan masyarakat,” beber dia.
Di sisi lain, Bank BJB juga menghadapi peningkatan kewajiban keuangan, terutama dari pihak ketiga dan obligasi berkelanjutan sejak 2021.
Menurut Anggoro, hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam manajemen kredit Bank BJB. Penurunan Net Interest Margin (NIM) dan meningkatnya Non-Performing Loans (NPL) mengindikasikan bahwa nilai tambah yang dihasilkan bank untuk para pemangku kepentingannya sedang merosot.
Anggoro merekomendasikan Bank BJB untuk melakukan restrukturisasi utang dan meninjau ulang obligasi berkelanjutan yang diterbitkan. “Obligasi yang tidak menghasilkan keuntungan seharusnya ditinjau kembali, baik dari segi ukuran emisi maupun perpanjangan masa emisinya. Prinsip keterbukaan atau disclosure harus diutamakan dalam laporan keuangan,” tegasnya.
Dia juga menekankan pentingnya Bank BJB untuk memperkuat fungsi intermediasi sebelum mencari sumber pendanaan baru. “Bank jangan terjebak menjadi institusi yang lebih suka berutang daripada menjalankan fungsi intermediasi yang kukuh dan berkualitas,” tambahnya.
Menurut dia, jika kinerja ini berlanjut, hal itu dapat berdampak negatif pada pemegang saham. Penurunan harga saham sejak mencapai puncaknya pada Juli-Agustus lalu mencerminkan kekhawatiran pasar terhadap keberlanjutan performa Bank BJB.***