Bisnis.com, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional bersyarat. Dalam putusannya, MK menetapkan bahwa perusahaan asuransi tidak boleh menolak klaim nasabah asuransi yang disebabkan oleh tidak lengkapnya pengungkapan informasi. MK memerintahkan dilakukan penetapan lewat pengadilan jika perusahaan asuransi melakukan penolakan berlandaskan aturan ini.
“Menyatakan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai: 'Termasuk berkaitan dengan pembatalan pertanggungan harus didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung berdasarkan putusan pengadilan'," ucap Suhartoyo saat pembacaan amar Putusan Nomor 83/PUU-XXII/2024 dikutip dari laman MK, Jumat (3/1/2025).
Permohonan terkait Pasal 251 KUHD ini sendiri telah bergulir sejak 2023. Akan tetapi, perkara yang dimenangkan oleh nasabah kali ini diajukan oleh Maribati Duha, ahli waris dari penerima manfaat atas nama Almarhum Sopan Santun Duha, yang mengajukan pengujian pada Agustus 2024 lalu. Mendiang Sopan Santun Duha sendiri juga sempat menguji pasal ini pada Januari 2024 lalu akan tetapi dalam perjalanannya, mendiang meninggal dunia.
Pasal 251 KUHD sendiri menyebutkan: 'Semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukannya dengan itikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.'
Kuasa hukum pemohon Eliadi Hulu saat mengajukan permohonan menjelaskan bahwa ketentuan norma Pasal 251 KUHD juga dapat dimanfaatkan guna menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat oleh tim internal perusahaan asuransi.
Dalam perbaikan permohonan pada pertengahan Agustus 2024 lalu, Maribati kemudian memohon kepada Mahkamah agar menyatakan Pasal 251 KUHD sepanjang frasa “pertanggungan itu batal” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan tersebut didasarkan atas kesepakatan penanggung dan tertanggung'.
Baca Juga
Alternatif lainnya: 'Pembatalan pertanggungan harus atas putusan pengadilan yang berwenang terkecuali pembatalan itu dilakukan oleh penanggung dalam rentang waktu paling lama 6 (enam) bulan karena ditemukannya ketidaksesuaian data tertanggung antara data yang tertera dalam formulir pertanggungan dengan data yang sebenarnya.'
“Kami punya rasio legis kenapa kemudian kami menentukan enam bulan, dan biasanya kami melihat dari website resmi Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, di situ biasanya masa tunggu itu dari satu bulan sampai 12 bulan/satu tahun. Tetapi kami mengambil tengah-tengahnya, Yang Mulia,” kata Eliadi.
Menurut Pemohon, ketentuan norma dalam pasal tersebut membuka ruang yang begitu besar bagi perusahaan asuransi memanfaatkan peraturan undang-undang guna kepentingan pribadi perusahaan. Ketentuan norma Pasal 251 KUHD juga dapat dimanfaatkan guna menghindari pertanggungjawaban atas kesalahan atau kelalaian yang dibuat oleh tim internal perusahaan asuransi itu sendiri.
Kelalaian dimaksud antara lain underwriting ulang atau seleksi risiko, yang merupakan proses penaksiran dan penggolongan tingkat risiko yang ada pada seorang calon tertanggung.
Underwriting sering kali kembali dilakukan bahkan hampir selalu dilakukan perusahaan asuransi apabila ahli waris mengajukan klaim atas nilai manfaat yang diperjanjikan dalam polis. Hal ini sebagaimana dialami Pemohon pada saat mengajukan klaim ke Prudential. Eliadi menyebut tindakan perusahaan tersebut merupakan motif atau tricky untuk membatalkan polis atau setidak-tidaknya mengurangi nilai manfaat yang dapat diklaim sebagaimana dialami Pemohon. Motif itu seolah-olah sah di mata hukum karena berlakunya Pasal 251 KUHD.
Eliadi menuturkan, Pasal 251 KUHD membuka ruang bagi perusahaan asuransi memanfaatkannya sebagai senjata sakti melakukan berbagai tricky yang bertujuan untuk menghindar dari tanggung jawab pembayaran klaim. Selain itu, Pasal 251 KUHD sama sekali tidak memberi ruang bagi tertanggung/pemegang polis atau ahli warisnya untuk membuktikan jika kesalahan atau kelalaian tidak berada pada dirinya, dan membuktikan bahwa tertanggung telah melakukan itikad terbaik (utmost good faith). Hal ini tentunya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
“Pasal 251 ini memberikan hak secara eksklusif kepada penanggung untuk membatalkan tanpa mempertimbangkan pembelaan-pembelaan hukum yang dilakukan oleh tertanggung,” kata Eliadi.