Bisnis.com, JAKARTA – Momentum Lebaran Idulfitri 2025 menjadi pendorong pertumbuhan pinjaman di pinjaman online atau pinjol (fintech P2P lending) dan buy now pay later (BNPL) atau paylater perusahaan pembiayaan. Namun, di balik itu ada risiko peningkatan kredit macet sejalan dengan melonjaknya pinjaman.
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan dalam momen mendekati Lebaran memang secara siklus akan terjadi permintaan untuk pembiayaan pinjol dan buy now pay later.
"Pembiayaan tersebut digunakan untuk keperluan mudik dan berwisata. Mereka yang tidak cukup biaya, memilih untuk mencari pembiayaan atau utang. Dulu mungkin bisa berutang ke tetangga atau keluarga. Sekarang beralih kepada pembiayaan melalui teknologi, termasuk pinjol dan BNPL," kata Huda kepada Bisnis, Minggu (9/3/2025).
Namun, Huda melihat peningkatan penyaluran utang tersebut juga dibarengi dengan potensi meningkatnya kredit macet.
"Begitu juga dengan ketika setelah Lebaran, biasanya akan meningkat pasca 2 sampai 3 bulan kemudian. Tapi nanti akan kembali turun di pertengahan tahun. Maka penting bagi masyarakat untuk mempertimbangkan betul pembiayaan atau utang ini. Tidak boleh berlebihan dalam konsumsi ketika Lebaran," jelas Huda.
Menilik tren yang terjadi pada momen menjelang Lebaran 2024, pembiayaan industri P2P lending mengalami kenaikan 24,16% year-on-year (YoY) pada April 2024. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibanding kenaikan 21,85% YoY per Maret 2024.
Baca Juga
Dari sisi kualitas pinjaman, kredit bermasalah atau TWP90 industri P2P lending meningkat dari periode April ke Mei, yakni dari 2,79% menjadi 2,91%. Selanjutnya, TWP90 berangsur-angsur turun.
Sementara untuk paylater di momen menjelang Lebaran tahun lalu, outstanding pembiayaan BNPL oleh perusahaan pembiayaan per April 2024 meningkat sebesar 31,45% YoY. Pertumbuhannya lebih tinggi dibanding periode Maret 2024 yang tumbuh 23,90% YoY.
Dari sisi kualitas pinjaman, NPF gross BNPL perusahaan pembiayaan pada Mei 2024 di level 3,22%, kemudian pada Juni turun menjadi 3,07% dan kembali turun menjadi 2,82% per Juli 2024.
"Siklus seperti ini kan terjadi setiap tahun, harusnya platform sudah mempunyai antisipasi terhadap potensi kenaikan kredit macet. Yang paling penting adalah melakukan kredit scoring secara ketat dan lebih valid. Jika sudah ada historis gagal bayar, saya rasa harusnya sudah terdeteksi. Manfaatkan database terkait borrower yang nakal," tegas Huda.
Huda menambahkan, pada momentum menjelang Lebaran 2025, ketika situasi di mana daya beli menurun maka akan berpengaruh pada peningkatan permintaan pembiayaan. Bagi masyarakat yang tidak mampu menjangkau pembiayaan dari bank, mereka akan mencari alternatif pembiayaan ke P2P lending dan BNPL.
"Saya rasa [pertumbuhan penyaluran pinjaman P2P lending dan BNPL tahun 2025] kurang lebih akan sama seperti tahun 2024," pungkasnya.
Sementara itu, Peneliti Senior Center of Reform on Economics (Core) Indonesia dan FEB Universitas Sebelas Maret, Etikah Karyani, menilai penyaluran pinjaman BNPL dan pinjaman P2P pada momen Lebaran 2025 ini bisa lebih tinggi dibanding kinerja di tahun sebelumnya.
"Jika pemerintah menstabilkan ekonomi, daya beli yang saat ini melemah menjadi lebih baik, lebih banyak orang kembali bekerja dari saat ini yang ada gelombang PHK, maka akan meningkatkan kepercayaan diri dalam mengambil kredit. Selain itu, multifinance dan fintech tetap agresif menawarkan pinjaman dengan bunga kompetitif termasuk upaya manajemen risiko untuk menekan kredit macet," kata Etikah.
Senada dengan Huda, potensi peningkatan pinjaman tersebut menurut Etikah juga berimbas pada risiko meningkatnya kredit bermasalah.
"Lonjakan ini sering dipicu oleh peningkatan konsumsi masyarakat, terutama pada sektor paylater dan P2P lending," pungkasnya.