Bisnis.com, JAKARTA – Industri pinjaman fintech P2P lending menutup 2024 lalu dengan torehan laba setelah pajak sebesar Rp1,65 triliun. Angkanya meningkat signifikan, yakni sebesar 245% year on year (YoY) dibandingkan laba setelah pajak sebesar Rp478,15 miliar per Desember 2023.
Bila menilik tren sepanjang 2024, industri P2P lending mengawali tahun tidak dengan start yang bagus. Per Januari 2024, industri pinjaman online di Indonesia ini harus menanggung rugi setelah pajak sebesar Rp135,61 miliar.
Kerugian tersebut beruntun dialami industri sepanjang kuartal I 2024, meskipun angkanya perlahan mengecil. Kerugian tersebut masing-masing adalah sebesar Rp135,61 miliar pada periode Januari 2024, rugi Rp97,56 miliar periode Februari dan rugi Rp27,32 miliar pada periode Maret.
Industri sukses membalikkan kerugian menjadi laba pada periode April 2024, dari rugi sebesar Rp27,32 miliar menjadi laba Rp172,84 miliar.
Sejak periode tersebut industri P2P lending terus menorehkan untung. Dari periode April sampai Desember, rata-rata pertumbuhan laba setelah pajak secara bulanan atau month to month (MtM) adalah sebesar Rp185 miliar.
Bila dibedah lagi, pertumbuhan paling kecil terjadi pada Juni 2024 ketika laba industri P2P lending naik tipis dari Rp336,01 miliar menjadi Rp383,68 miliar.
Baca Juga
Sedangkan, lonjakan tertinggi adalah pada periode Desember 2024, di mana secara bulanan laba setelah pajak industri P2P lending melonjak Rp374 miliar dari Rp1,27 triliun menjadi Rp1,65 triliun.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman mengatakan pada 2025 tren positif industri P2P lending ini diperkirakan dapat terus dipertahankan.
"Berdasarkan proyeksi Rencana Bisnis Penyelenggara P2P lending yang disampaikan kepada OJK, pada tahun 2025 industri P2P lending diperkirakan terus mencetak laba meskipun masih dibayangi oleh berbagai ketidakpastian kondisi perekonomian," kata Agusman dalam jawaban tertulis pekan lalu.
Selain tantangan berupa ketidakpastian ekonomi, Agusman memahami dari sisi tata kelola juga menjadi hal penting yang bisa menghambat pertumbuhan industri P2P lending di Indonesia. Apalagi, saat ini tidak sedikit perusahaan P2P lending sedang bermasalah.
"Fraud merupakan salah satu risiko yang penting diwaspadai dalam usaha P2P lending. Untuk memperkuat industri P2P lending, OJK telah melakukan penyempurnaan regulasi melalui berbagai POJK terkait LPBBTI dan PVML," ujarnya.
Regulasi yang dia maksud tersebut antara lain adalah POJK 40/2024, POJK 42/2024, POJK 43/2024, POJK 48/2024 dan POJK 49/2024.
Agusman menambahkan, OJK juga terus berupaya untuk meningkatkan perlindungan konsumen dengan memperkuat mitigasi risiko yang meliputi pemahaman pengguna, transparansi dan pembatasan kerja sama dengan risiko tinggi.