Bisnis.com, JAKARTA - Pelibatan bank-bank pelat merah atau bank BUMN dalam program Koperasi Merah Putih perlu mencermati sejumlah aspek, mulai dari mitigasi risiko kredit hingga perancangan regulasi yang jelas agar tidak menimbulkan tumpang-tindih.
Menurut Trioksa Siahaan, Head of Research Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), salah satu aspek yang perlu dicermati dalam pelibatan bank Himbara pada program ini adalah risiko kenaikan nonperforming loan (NPL).
Dia menyebut, kenaikan NPL pada bank pelat merah yang terlibat dalam program Koperasi Merah Putih memang dapat terjadi apabila pemberian kredit ke debitur dengan track record yang masih belum terlihat.
Selain itu, dia juga mengingatkan sudah ada Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) di kawasan pedesaan. Oleh karena itu, dia menekankan pemerintah perlu memperjelas perbedaan BUMDES dengan Koperasi Merah Putih yang akan dijalankan.
"Sehingga tidak tumpang tindih. Sepanjang tujuannya jelas dan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat desa serta dikelola dengan baik, maka keberadaannya juga akan baik," kata Trioksa saat dihubungi, Senin (10/3/2025).
Selain itu, dia juga mengatakan alokasi dana desa harus jelas untuk kebutuhan pembangunan desa. Adapun, dia juga menyoroti skema alokasi dana desa untuk pelunasan kredit yang dinilai kurang tepat. Trioksa menyarankan pelunasan kredit sebaiknya berasal dari hasil usaha koperasi atau BUMDES.
Sementara itu, dia menyebut profitabilitas bank akan bergantung pada pendapatan dan beban dari perusahaan masing-masing. Dia memaparkan, jika pembentukan Koperasi Merah Putih dapat meningkatkan pendapatan bank, maka hal tersebut akan berpengaruh positif kepada laba bank.
Sebaliknya, apabila program ini berdampak pada peningkatan beban seperti Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) maka laba bank pun akan terimbas negatif. Dia mengatakan, bank pelat merah perlu tetap menjaga prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit pada program tersebut.
"Selain itu juga harus sesuai aturan yang ada, baik itu eksternal maupun internal termasuk kepada Koperasi Merah Putih," lanjutnya.
Adapun, Trioksa belum dapat mengomentari potensi dampak pembentukan Koperasi Merah Putih ini terhadap strategi Danantara dalam mengelola aset BUMN. Hal ini mengingat strategi investasi Danantara yang hingga saat ini juga belum terlihat jelas.
Prinsip dari Bawah ke Atas
Secara terpisah, pengamat perbankan, Paul Sutaryono mengatakan, sudah semestinya pembentukan Koperasi Merah Putih dilakukan dengan prinsip dari bawah ke atas (bottom up), bukan top down.
Menurutnya, hal pertama yang perlu dilakukan dalam program ini adalah merancang good corporate governance (GCG) bagi bank-bank Himbara yang terlibat dengan baik dan benar. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan manajemen risiko jauh sebelum dibentuk.
"Artinya, dipersiapkan dulu calon pengurus dan pengawas yang sudah disiapkan dan dibekali dengan seluk beluk pengelolaan koperasi, antara lain manajemen kredit, pengawasan atau audit, manajemen keuangan, termasuk GCG dan manajemen risiko," katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus mempertimbangkan risiko macetnya kucuran dana dari bank BUMN ke koperasi dan menentukan pihak-pihak yang harus bertanggung jawab. Hal tersebut mengingat kemungkinan risiko kredit macet pasti ada, bahkan di semua kredit.
Sementara itu, dia menilai skema pelunasan kredit melalui alokasi dana desa tahunan sebagai hal positif tetapi cukup riskan.
Oleh karena itu, dia menyarankan hal tersebut perlu ditegaskan dalam aturan formal seperti peraturan pemerintah (PP) tentang dana kredit dari bank Himbara.
"Dengan demikian, ada aturan yang dapat menjadi payung hukum bagi bank Himbara dalam menyalurkan kredit kepada Koperasi Merah Putih," jelas Paul.