Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mengingatkan agar para anggotanya untuk memperkuat strategi diversifikasi investasi guna menghadapi gejolak pasar saham yang tengah terjadi dalam beberapa waktu terakhir.
Pasar saham Indonesia sejak awal 2025 mengalami volatilitas cukup tinggi akibat dinamika suku bunga global, ketegangan geopolitik, serta ketidakpastian arah kebijakan ekonomi domestik. Bahkan indeks harga saham gabungan alias IHSG sempat anjlok hingga 6,12% pada perdagangan sesi I pada 18 Maret 2025.
Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan bahwa pentingnya penguatan strategi mitigasi risiko dan penyesuaian portofolio investasi oleh pelaku industri asuransi jiwa di tengah kondisi pasar yang fluktuatif.
“Gejolak volatilitas pasar saham yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir memang mengambil perhatian besar bagi industri keuangan tidak terkecuali industri asuransi jiwa. Kami memandang hal ini menjadi sinyal bagi industri asuransi jiwa untuk memperkuat strategi mitigasi risiko dan penyesuaian portofolio investasi,” katanya kepada Bisnis, pada Jumat (21/3/2025).
Togar menjelaskan bahwa pada dasarnya perusahaan asuransi jiwa menerapkan strategi investasi jangka panjang berbasis manajemen risiko.
Oleh karena itu, fluktuasi pasar dalam jangka pendek tidak serta-merta memberikan dampak signifikan terhadap kinerja investasi secara keseluruhan.
Baca Juga
“Diversifikasi portofolio akan turut membantu dalam menjaga stabilitas hasil investasi,” katanya.
Lebih lanjut, Togar mengingatkan bahwa penempatan investasi perusahaan asuransi jiwa telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 71 Tahun 2016 dan perubahan dalam POJK Nomor 5 Tahun 2023. Aturan ini memberikan batasan yang bertujuan menjaga kesehatan keuangan perusahaan dan melindungi pemegang polis.
Dengan adanya batasan tersebut, lanjut Togar, penempatan investasi telah dipagari sehingga dampak negatif tentunya dapat ditangani oleh perusahaan.
Hingga akhir 2024, portofolio investasi industri asuransi jiwa didominasi oleh penempatan pada surat berharga negara (SBN) sebesar 37,9%, disusul oleh instrumen saham dengan porsi sebesar 24,7%.
Menurut Togar, saham masih menjadi instrumen menjanjikan dalam hal profitabilitas dan penguatan modal perusahaan.
“Selain itu, investasi pada saham juga bisa menjadi langkah yang baik untuk memperkuat pasar modal,” katanya.
Namun demikian, dia kembali mengingatkan bahwa strategi investasi akan sangat bergantung pada kondisi makro ekonomi serta karakteristik dan preferensi masing-masing perusahaan.
“Sebagaimana disampaikan sebelumnya, diversifikasi tetap harus dilakukan agar risiko investasi dapat terdistribusi merata di berbagai instrumen. Strategi investasi bergantung pada preferensi masing-masing perusahaan baik dalam aspek strategi investasi maupun profil risiko yang dimiliki dan kondisi makro ekonomi,” pungkasnya.