Bisnis.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung menetapkan delapan orang sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk. (SRIL) alias Sritex beserta entitas anak usahanya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Anang Supriatna menjelaskan penetapan tersangka ini dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) setelah penyidik menemukan cukup bukti terkait pelanggaran dalam proses persetujuan dan pencairan kredit oleh sejumlah bank pembangunan daerah. Perkara ini diperkirakan menyebabkan kerugian negara senilai Rp1,08 triliun yang saat ini sedang dihitung secara rinci oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Dari delapan tersangka baru ini, sebanyak tujuh orang di antaranya merupakan pejabat pada tiga bank pembangunan daerah yakni Bank Jakarta, Bank Jabar dan Banten, dan Bank Jateng.
"Delapan orang tersangka tersebut ditetapkan karena ditemukan alat bukti yang cukup telah terjadi tindak pidana korupsi dalam pemberian kredit," kata Anang dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (22/7/2025).
Disebutkan dari bank daerah yang ditetapkan tersangka yakni BFW selaku Direktur Kredit UMKM dan Direktur Keuangan Bank DKI Jakarta periode 2019–2022. Kejaksaan menyebut penetapan tersangka karena BWF diduga menyetujui pemberian kredit tanpa mempertimbangkan risiko keuangan Sritex, termasuk mengabaikan kewajiban MTN yang segera jatuh tempo. Ia tetap memutuskan pemberian kredit dengan jaminan umum tanpa kebendaan meski Sritex tidak tergolong sebagai debitur prima.
Peran serupa juga disangkakan kepada PS yang menjabat sebagai Direktur Teknologi dan Operasional Bank DKI pada periode 2015–2021. PS juga disebut bertanggung jawab atas keputusan pemberian kredit tanpa kajian yang memadai, serta menyetujui jaminan tanpa kebendaan terhadap debitur yang tidak memenuhi syarat sebagai debitur unggulan.
Sementara itu, YR yang menjabat sebagai Direktur Utama Bank BJB dari 2019 hingga Maret 2025 diketahui telah menyetujui penambahan plafon kredit sebesar Rp350 miliar meskipun ia mengetahui bahwa laporan keuangan Sritex tidak mencantumkan pinjaman sebelumnya senilai Rp200 miliar dan bahwa perusahaan memiliki utang MTN yang segera jatuh tempo. BR, Senior Executive Vice President Bisnis Bank BJB periode 2019–2023 juga ditersangkakan. Dia disebut lalai dalam menjalankan prinsip kehati-hatian perbankan. Ia menyetujui fasilitas kredit tanpa mengevaluasi akurasi laporan keuangan dan hanya mendasarkan keputusannya pada pemaparan internal, tanpa jaminan yang memadai, semata-mata karena perusahaan telah go public.
Dari Bank Jateng, tersangka yang ditetapkan adalah SP sebagai Direktur Utama periode 2014–2023. Menurut Anang, sosok SP menyetujui pemberian kredit rantai pasok kepada Sritex tanpa membentuk komite kebijakan kredit, serta tanpa verifikasi langsung atas laporan keuangan audited perusahaan. Ia mengetahui bahwa kewajiban Sritex lebih besar daripada asetnya, namun tetap meloloskan permohonan kredit.
Bersamaan dengan itu, PJ sebagai Direktur Bisnis Korporasi dan Komersial Bank Jateng periode 2017–2020 juga ditetapkan sebagai tersangka. Dia disebut menyetujui pemberian kredit tanpa memastikan validitas laporan keuangan yang digunakan sebagai dasar analisis. Demikian pula SD, Kepala Divisi Bisnis Korporasi dan Komersial Bank Jateng periode 2018–2020, turut menandatangani persetujuan kredit tanpa melakukan kajian risiko secara menyeluruh, termasuk gagal memastikan kebenaran data keuangan, buyer, dan supplier.
Sementara tersangka tambahan dari Sritex yakni AMS yang menjabat sebagai Direktur Keuangan PT Sritex periode 2006 hingga 2023. Ia disebut bertanggung jawab atas urusan keuangan perusahaan termasuk pengajuan kredit ke perbankan, dan diketahui telah menandatangani permohonan kredit ke Bank DKI Jakarta dengan menggunakan invoice fiktif sebagai dasar pencairan. Dana hasil kredit tersebut kemudian tidak digunakan sebagaimana mestinya untuk modal kerja, melainkan untuk membayar utang perusahaan dalam bentuk medium term note (MTN).
Para tersangka dikenai pasal-pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yakni Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Dari delapan tersangka, tujuh di antaranya telah ditahan di Rumah Tahanan Negara Salemba selama 20 hari ke depan, sementara satu tersangka, YR, dikenai tahanan kota dengan alasan kesehatan.