Bisnis.com, JAKARTA--- Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan mengharapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengecualikan lembaganya dari rencana pengenaan pungutan iuran terhadap industri jasa keuangan.
Elvyn G.Masassya, Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan, mengatakan pengecualian itu perlu karena lembaganya merupakan badan hukum publik, bukan perusahaan dengan bentuk badan hukum perseroan terbatas.
“Kami sudah menyampaikan [soal itu], tapi belum secara tertulis,” kata Elvyn seusai menghadiri acara penandatanganan kesepakatan bersama antara BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kamis (3/4).
BPJS Ketenagakerjaan merupakan lembaga negara yang diawasi oleh OJK. BPJS Ketenagakerjaan merupakan lembaga hasil pembubaran PT Jamsostek dan mulai beroperasi sejak 1 Januari 2014.
Sebagai gambaran, aset milik BPJS dipisah menjadi dua yaitu aset BPJS serta aset Dana Jaminan Sosial (DJS). Berdasarkan UU No.24/2011 tentang BPJS, lembaga tersebut wajib memisahkan dua aset itu.
Mengacu kepada beleid, aset BPJS bersumber dari modal awal pemerintah, hasil pengalihan aset PT Jamsostek, hasil pengembangan aset BPJS, dana operasional yang diambil dari DJS serta sumber lain yang sah menurut peraturan.
Aset BPJS tersebut dapat digunakan untuk biaya operasional penyelenggaraan program jaminan sosial, biaya pengadaan barang dan jasa, biaya untuk peningkatan kapasitas pelayanan serta investasi.
Sementara itu, aset DJS bersumber dari iuran jaminan sosial, hasil pengembangan DJS, hasil pengalihan aset program jaminan sosial yang menjadi hak peserta dari PT Jamsostek serta sumber lain yang sah sesuai peraturan.
Elvyn mengatakan nilai aset BPJS Ketenagakerjaan saat ini Rp8 triliun serta aset DJS mencapai Rp153 triliun. “Kami mengelola [dana itu] untuk kepentingan jaminan sosial dan usahanya atau institusinya adalah nirlaba,” katanya.