Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nasib Revisi UU Dana Pensiun, 14 Tahun Tak Dilirik Juga

Bisnis.com, JAKARTA -- Sudah 14 tahun berlalu sejak draft Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11/1992 tentang Dana Pensiun pertama kali masuk program legislasi nasional (Prolegnas) di Dewan Perwakilan Rakyat.
Dana pensiun/Istimewa
Dana pensiun/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA -- Sudah 14 tahun berlalu sejak draft Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11/1992 tentang Dana Pensiun pertama kali masuk program legislasi nasional (Prolegnas) di Dewan Perwakilan Rakyat.

Ketika itu, tepatnya pada 2005, Departemen Keuangan memprakarsai perubahan UU Dana Pensiun yang dinilai sudah waktunya mengalami penyesuaian. Draft perubahan UU tersebut masuk Prolegnas bersamaan dengan 51 UU lainnya.

Namun, pembahasan di DPR sepanjang 2005 tidak meloloskan draft RUU Dana Pensiun itu sehingga berlanjut terus ke periode selanjutnya. Pada 2006, draft RUU tersebut kembali masuk Prolegnas bersama dengan 85 regulasi lain.

Begitu seterusnya hingga kini, 2019, draft revisi UU Dana Pensiun kembali masuk ke dalam program yang dijadwalkan untuk dibahas di lembaga legislatif.

Padahal, sebagaimana dikemukakan Wakil Ketua Umum Perhimpunan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (P – DPLK) Nur Hasan Kurniawan, regulasi tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan konteks perkembangan terkini industri yang memiliki kumulasi aset senilai Rp273 triliun ini.

Sejumlah poin ketentuan di dalam UU tersebut dinilai sudah usang sehingga perlu segera direvisi.

“Kalau bicara perkembangan zaman, UU Dapen itu sudah kadaluarsa,” ungkapnya kepada Bisnis, Minggu (17/3).

Dia membenarkan revisi UU Dana Pensiun sebenarnya sudah diajukan sejak lama. Kendati begitu, revisi regulasi ini tak kunjung terealisasi.

Nur Hasan menjelaskan, UU Dana Pensiun dibuat sejak 26 tahun lalu. UU ini berlaku sejak 20 April 1992, dan berkaitan dengan sejumlah ketentuan lainnya. Salah satunya yakni UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

Namun demikian, UU Jamsostek pun telah mengalami penyesuaian dan berubah menjadi UU No. 24/2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial. Penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan pun kini diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Di samping itu, berdasarkan data statistik, sambung Nur Hasan, jumlah dana pensiun khususnya di segmen dana pensiun pemberi kerja (DPPK) terus berkurang. Sementara itu, jumlah DPLK terus bertumbuh.

“Revisi UU ini patut sesegera mungkin direalisasikan. Kalau lihat dapen, jumlah DPPK selalu turun, berarti peluangnya ada di DPLK dong. Jadi, perlu untuk merangsang industri tumbuh.”

Menurut dia, banyak poin dalam UU Dana Pensiun yang perlu direvisi. Salah satunya yakni terkait dengan anuitas.

Seperti diketahui, berdasarkan UU Dana Pensiun, pembayaran manfaat pensiun kepada peserta atau pihak yang berhak atasnya dapat dialihkan pengurus dengan membeli anuitas seumur hidup dari perusahaan asuransi jiwa.

Perusahaan asuransi jiwa ini selanjutnya bertanggung jawab untuk melakukan pembayaran manfaat pensiun itu secara anuitas atau berkala. Nur Hasan menilai skema ini sudah tidak lazim digunakan.

Poin lain, sambung Nur Hasan, UU Dana Pensiun menyatakan bahwa dana pensiun lembaga keuangan atau DPLK hanya dapat dibentuk oleh dua entitas, yakni bank dan asuransi jiwa. Menurutnya, bentuk entitas pendiri itu seharusnya bisa diperluas.

“Konsep produknya itu sama dengan reksa dana sebenarnya. Dan harusnya asuransi umum juga boleh [membentuk DPLK],” sebut dia.

Hal lain yang perlu disesuaikan, lanjut dia, adalah sejumlah aturan baru yang muncul dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 5/POJK.05/2017 tentang Iuran, Manfaat Pensiun, dan Manfaat Lain yang Diselenggarakan oleh Dana Pensiun. Sejumlah ketentuan, termasuk jenis manfaat lain, belum termuat dalam UU Dana Pensiun.

Penetapan revisi UU Dana Pensiun dengan memuat poin soal manfaat lain itu diyakini bakal menyelesaikan polemik pengenaan pajak pada sejumlah instrumen baru yang dimungkinkan dalam POJK tersebut.

“Kalau aturan POJK itu dimasukan ke UU lebih dahulu, tidak akan terjadi perbedaan pendapat tentang program pesangon dan lainnya. Revisi bisa menjawab semua kegalauan itu dan memberikan rangsangan agar pemain baru kian bertambah, khususnya DPLK.”

Sementara itu, Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) mengaku telah dimintai masukan oleh regulator terkait penyesuian naskah akedemis dan draf revisi UU Dana Pensiun.

Ketua Umum ADPI Suheri mengaku telah mengetahui bahwa regulator kembali mendorong revisi UU Dana Pensiun. “Mereka juga sedang meminta pendapat ADPI,” tuturnya.

Dia mencontohkan, saat ini UU tersebut belum mengatur penyelenggaraan program dana pensiun dengan prinsip syariah. Program itu baru diatur oleh POJK No. 33/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Program Pensiun Berdasarkan Prinsip Syariah.

Selain itu, jelasnya, bentuk manfaat lain, sebagaimana dimungkinkan dalam POJK No. 5/POJK.05/2017 tentang Iuran, Manfaat Pensiun, dan Manfaat Lain yang Diselenggarakan oleh Dana Pensiun, juga belum termuat dalam UU Dana Pensiun.

Oleh karena itu, Suheri mengatakan saat ini pihaknya telah membentuk tim untuk memberikan masukan ke Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan revisi regulasi itu. Tim tersebut bakal menginvetarisir usulan dari ADPI.

Syah Amondaris, Direktur Utama Mandiri DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan), mengatakan UU yang saat ini berlaku tidak mengakomodir berbagai perkembangan di industri dapen.

Syah menilai, peraturan perpajakan yang berlaku saat ini perlu diperjelas untuk mendorong perusahaan mendanakan dana pensiun. UU yang berlaku saat ini, serta peraturan perpajakannya, menurut Syah tidak mendorong perusahaan untuk mendanakan dana pensiun karena tidak ada insentif.

“Kan banyak sekali dana pasca kerja, bukan cuma pensiun. Kalau dana tersebut dikelola seharusnya kena pajak pensiun, kalau dikenakan pajak pesangon perusahaan tersebut tidak memiliki insentif untuk mendanakan,” ujar Syah kepada Bisnis, Senin (18/03).

Dia menilai insentif menjadi kunci agar perusahaan mendanakan dana pasca kerja sehingga pemerintah akan mendapatkan uang dalam jumlah besar untuk dikelola. Hal tersebut menurutnya dapat mendorong DPLK dalam mendukung pembangunan.

Revisi UU 11/1992 menurutnya dapat membuat hak-hak para pekerja atas dana pasca kerja terpenuhi dan semakin terlindungi. Perlindungan tenaga kerja menurutnya penting, terlebih di negara dengan penduduk usia kerja yang hampir mencapai 200 juta orang.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk usia kerja mencapai 194,78 juta orang dengan jumlah angkatan kerja mencapai 124,01 juta orang.

Jika revisi tidak dilakukan, menurut Syah industri dapen tidak akan tumbuh signifikan. Di antaranya karena pendanaan wajib melalui Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) serta Tabungan dan Asuransi Pensiun (Taspen) cenderung telah terukur.

Selain itu, menurutnya, tanpa adanya revisi UU 11/1992 produk-produk baru dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 52 banyak yang tidak bisa diimplementasikan karena sistem perpajakan yang belum jelas.

“Produk [dana] pensiun jadinya yang konservatif saja, ini kan sudah 27 tahun yang lalu,” ujar Syah.

Dia pun menjelaskan, UU 11/1992 masih menganggap perusahaan dapen sebagai entitas yang independen karena memiliki laporan keuangan sendiri tetapi pendiri dapen menjadi penanggung jawab.

“Ini membuat [perusahaan dapen] menjadi tidak fleksibel. Harusnya seperti PT saja sehingga bisa lebih fleksibel,” ujar Syah.

Direktur DPLK Muamalat Lilies Sulistyowati menambahkan, UU yang berlaku saat ini membuat ruang gerak DPLK dan industri dana pensiun (dapen) sempit.

Kondisi tersebut turut berlaku pada DPLK syariah yang berada di bawah UU 11/1992. Jika tidak segera direvisi, menurutnya, industri dana pensiun akan semakin sulit tumbuh.

“Dapen/DPLK sebenarnya punya potensi besar apalagi di era millenial ini, karena jumlah tenaga kerja sangat besar. Apalagi dapen mempunyai kelebihan dibanding investasi yang lain seperti bank atau asuransi,” ujar Lilies.

Dapen, menurut dia, dapat digunakan sebagai salah satu alternatif pendanaan jangka panjang yang dapat digunakan untuk pembangunan. “Artinya kalau dana Dapen/DPLK besar maka negara terbantu,” ujar Lilies.

NASKAH AKADEMIK

Sementara itu, DPR belum memasukkan perubahan UU Dana Pensiun ke dalam Prolegnas mengingat pihak pemerintah belum menyiapkan naskah akademik dan draft Rancangan Undang-undang (RUU).

Anggota Komisi XI DPR Muhammad Sarmuji mengatakan dalam daftar Prolegnas 2015-2019, perubahan naskah akademik tentang UU Dana Pensiun dan draft RUU merupakan tugas dari pemerintah untuk menyiapkan.

Namun, pemerintah belum mengusulkan masuk Prolegnas 2019 dan belum menyiapkan naskah akademik serta draft RUU-nya.

“UU Dana Pensiun belum masuk dalam Prolegnas 2019. Baru masuk di longlist Prolegnas 2015-2019,” ujarnya.

Pada 2007, tim penyusun RUU tentang Perubahan UU No.11/1992 tentang Dana Pensiun memaparkan beberapa usulan perubahan.

Beberapa poin yang diusulkan diubah antara lain pencantuman pasal soal dapen syariah.

Seperti diketahui, UU No.11/1992 tidak mengatur ketentuan mengenai dana pensiun syariah. Padahal, perkembangan lembaga keuangan lain yang berbasis syariah sangat pesat. Contohnya sektor perbankan dan asuransi. Sementara itu, saat ini sudah ada beberapa DPLK yang menawarkan produk investasi dalam instrumen keuangan syariah misalnya DPLK Muamalat dan DPLK Manulife.

Poin lainnya yakni terkait dengan fleksibilitas iuran dan manfaat. Dalam naskah akademik, besaran iuran diminta lebih fleksibel sehingga peserta dapat menambah iurannya sendiri. 

Adapun pada UU No.11/1992, besarnya manfaat pensiun, iuran dan kekayaan peserta program pensiun tidak boleh melampaui jumlah yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

UU Dana Pensiun menetapkan pembayaran manfaat pensiun dilakukan secara berkala sekali sebulan. Tetapi dalam praktik, beberapa dana pensiun mengalami kesulitan menampung aspirasi peserta, khususnya pensiunan akan kebutuhan adanya tunjangan hari raya.

Di samping itu, pengaturan usia pensiun normal dinilai akan berbeda pada setiap perusahaan sesuai dengan industrinya. Terkait dengan hal tersebut, usia pensiun normal sebaiknya dikaitkan dengan peraturan yang berlaku pada pemberi kerja agar konsisten.

UU Dana Pensiun pada 1992 belum mengatur secara jelas kewenangan menteri untuk memberhentikan pengurus dari jabatannya ketika terjadi pelanggaran. Untuk itu, perlu ada ketentuan yang memberi kewenangan kepada menteri untuk memberhentikan pengurus.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pengawas Dana Pensiun OJK Andra Sabta menyebutkan industri dana pensiun telah mengalami perubahan, sehingga perlu segera dilakkan perubahan terhadap regulasi yang memayungi industri tersebut.

Tambahan pula, dengan adanya BPJS Ketenagakerjaan cukup berpengaruh terhadap struktur bisnis industri dapen saat ini

Menurutnya, perubahan UU Dana Pensiun sudah beberapa kali diajukan ke program legislasi nasional (Prolegnas), tetapi sampai saat ini belum mendapat kesempatan.

“Pentingnya UU Dapen diubah karena kondisi industri dapen juga sudah berubah di Indonesia,” ujarnya, saat dihubungi Bisnis, Senin (18/3).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper