Bisnis.com, JAKARTA – Perlambatan pertumbuhan aset industri perbankan syariah diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Menurut lembaga ini, ada sejumlah sebab mengapa pertumbuhan aset industri perbankan syariah melambat signifikan 2 tahun terakhir.
Direktur Pengaturan dan Perizinan Perbankan Syariah OJK Deden Firman Hendarsyah mengatakan sebenarnya pertumbuhan pesat aset perbankan syariah beberapa tahun lalu terjadi lantaran kecilnya nilai aset pelaku industri ini. Oleh karena itu, setiap pertambahan aset sekecil apa pun akan terlihat signifikan secara persentase.
"Mengenai pertumbuhan perbankan syariah, terjadi perlambatan pertumbuhan. Pada awal pertumbuhan sangat pesat karena dari total aset yang kecil sehingga jika tumbuh akan jadi besar persentasenya," ujar Deden.
Selain karena faktor besar-kecilnya aset, perlambatan disebut Deden terjadi lantaran sulitnya pelaku industri keuangan syariah mencari nasabah pembiayaan. Kesulitan ini ia kemukakan berdasarkan data per semester I/2019.
Hingga paruh pertama tahun ini, rasio pembiayaan terhadap pendanaan bank syariah (financing to deposit ratio/FDR) tercatat ada di angka 80%. Rendahnya rasio ini menunjukkan banyaknya dana atau modal bank syariah yang tak disalurkan ke pembiayaan.
Adapun jumlah pembiayaan yang disalurkan bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) per akhir Agustus 2019 tumbuh 10,83% secara tahunan menjadi Rp337,6 triliun. Pertumbuhan ini lebih lambat dibanding periode sama tahun lalu, saat pembiayaan BUS dan UUS tumbuh 13,48% year-on-year (yoy) dari Rp268,4 triliun menjadi Rp304,6 triliun.
Deden mengatakan meski market share perbankan syariah lambat pertumbuhannya namun ada konsistensi pertambahan nasabah pendanaan. Menurut analisa OJK, setiap 6 bulan tingkat pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang dikelola BUS dan UUS selalu tumbuh hingga 1 juta rekening.
“Market share kita masih berada di bawah 6%. Tetapi yang menarik, kalau dilihat dari DPK, share kita sudah lebih dari 7%,” ujarnya.
OJK menganggap ada sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk mendorong industri perbankan syariah agar lebih pesat pertumbuhannya. Pertama, otoritas menekankan pentingnya sinergi antara BUS dan UUS terutama dengan kehadiran sejumlah bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) di daerah.
Kedua, OJK diakui tengah menyusun peta jalan baru terkait pengembangan perbankan syariah. Dalam peta jalan baru tersebut otoritas akan memperjelas dan memperdalam maksud moto Beyond Banking untuk mempertegas keunikan bank syariah dibanding konvensional.
Ketiga, OJK tengah menyelesaikan rancangan peraturan (RPOJK) tentang Sinergi Perbankan Dalam Satu Kepemilikan untuk Pengembangan Perbankan Syariah. Rancangan beleid ini ditargetkan terbit sebelum 2019 berakhir.
RPOJK Sinergi Perbankan akan menjawab permasalahan besarnya potensi beban BUS jika benar-benar harus lepas dengan bank induk konvensional paling lambat 2023 mendatang. Jika beleid ini sudah berlaku, BUS hasil spin off bisa bekerja sama di sejumlah hal tertentu dengan bank induk konvensional.
“Spin off bisa dilihat peluang dan momentum membesarkan perbankan syariah. Persyaratan spin off yang paling banyak didiskusikan adalah mengenai modal, karena modalnya tidak hanya di calon BUS yang masih Rp500 miliar tapi juga di bank induk. Karena itu misalnya di bank BUKU II untuk lakukan penyertaan Rp500 miliar, induknya harus punya modal minimal Rp2,5 triliun,” kata Deden.
RPOJK Sinergi Perbankan juga disebut akan memungkinkan status BUKU BUS yang baru berpisah mengikuti induknya. Hal ini dilakukan agar BUS hasil spin off tak kehilangan wewenang atau kemampuan gerak yang sebelumnya dimiliki ketika berstatus BUKU sama dengan induknya.
Deden menyebutkabn BUS yang bisa mendapatkan status BUKU sesuai bank induknya harus memiliki manajemen risiko terintegrasi. Jika tidak, status BUKU BUS terkait akan mengikuti kekuatan modal intinya.
Berdasarkan data OJK, hingga kini hanya ada lima UUS yang asetnya bernilai lebih dari Rp3 triliun. Sementara itu, jumlah UUS di Indonesia saat ini mencapai 20 unit, dan ada 14 bank berstatus BUS.
Nilai aset industri perbankan syariah hingga Juli 2019 mencapai Rp494,04 triliun. Adapun market share perbankan syariah hanya sebesar 5,87% dari total market perbankan di Indonesia.