Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menemukan adanya sejumlah permasalahan yang membebani keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan hingga Rp521,46 miliar.
Berdasarkan laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun 2019, BPK menemukan adanya beban keuangan yang ditemukan dari pemeriksaan terhadap BPJS Kesehatan, instansi kesehatan terkait, Kementerian Kesehatan, dan 64 Pemerintah Daerah yang mencakup Dinas Kesehatan, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD).
BPK menemukan adanya sejumlah permasalahan signifikan, misalnya Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang merujuk diagnosis spesialistik atau pelayanan kesehatan oleh dokter spesialis, tetapi diagnosis akhir dokter di fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL) merupakan nonspesialistik.
Proses tersebut berlangsung baik di FKTP pemerintah dan membebani keuangan BPJS Kesehatan senilai Rp53,71 miliar pada 2018 dan Rp27,43 miliar pada Semester I 2019. Adapun, proses di FKTP swasta membawa beban keuangan Rp40,32 miliar pada 2018 dan Rp21,26 miliar pada Semester I 2019, sehingga total seluruhnya menjadi Rp142,72 miliar.
BPK pun menemukan adanya beban keuangan dari diagnosis atas 144 penyakit yang seharusnya dapat dilakukan pengobatan di FKTP tanpa rujukan ke FKRTL. Hingga Juli 2019, terdapat 821 kode diagnosis nonspesialistik atas 144 diagnosis penyakit yang harus selesai di FKTP, dari yang sebelumnya terdapat 153 kode diagnosis nonspesialistik.
"Akibatnya, potensi beban biaya manfaat akibat masih diterapkannya 153 kode diagnosis nonspesialistik selama 2018 dan semester I 2019 untuk FKTP pemerintah sebesar Rp68,94 miliar atau terdapat perbedaan 84,94%, dan FKTP Swasta sebesar Rp58,03 miliar atau terdapat perbedaan 94,22% jika dibandingkan menggunakan 821 kode diagnosis nonspesialistik," demikian dikutip Bisnis dari laporan tersebut, Rabu (6/5/2020).
Baca Juga
Selain itu, terdapat rujukan kelainan refraksi mata ke FKRTL yang seharusnya dapat disesuaikan di FKTP pemerintah. Akibatnya, hal tersebut membebani keuangan BPJS Kesehatan Rp154,53 miliar pada 2018 dan Rp97,24 miliar pada Januari–Oktober 2019, sehingga jumlahnya menjadi Rp251,77 miliar.
BPK pun menemukan adanya permasalahan lain yang perlu diselesaikan oleh BPJS Kesehatan, seperti pembayaran kapitasi yang belum didasarkan kepada jumlah peserta aktif yang terdaftar di FKTP sesuai data mutakhir. Berdasarkan temuan BPK, terdapai 10,17 Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tidak valid dan 94.886 NIK ganda.
"Akibatnya, pembayaran kapitasi berdasarkan jumlah peserta aktif berpotensi tidak valid," tertulis dalam laporan tersebut.
Terdapat pula masalah pembayaran klaim dana nonkapitasi dan promotif preventif kepada FKTP milik pemerintah dan swasta yang belum tepat waktu. Terdapat keterlambatan lebih dari 30–74 hari dengan dana sebesar Rp65,39 miliar, sehingga dana tersebut tidak dapat segera dimanfaatkan oleh FKTP.
BPK pun menemukan adanya potensi benturan kepentingan dari migrasi oleh dinas kesehatan atas 4.514 peserta penerima bantuan iuran (PBI) daerah dari puskesmas ke klinik milik swasta. BPK menilai bahwa hal tersebut membuat Puskesmas kehilangan potensi penerimaan kapitasi hingga Rp201,23 juta.