Bisnis.com, JAKARTA – Berulang kali, legislator di DPR, pebisnis dan berbagai pihak menyerukan agar Bank Indonesia (BI) melakukan cetak uang.
Ketua Banggar DPR Said Abdullah telah merekomendasikan kepada Bank Indonesia (BI) untukmencetak uang sekitar Rp400 triliun - Rp600 triliun untuk mencukupi kebutuhan pembiayaan penanganan Covid-19 pemerintah dan LPS serta likuiditas perbankan.
Kebijakan tersebut bisa meningkatkan inflasi, namun Banggar melihat BI bisa memitigasi melalui berbagai instrumen, seperti BI 7-Day Reverse Repo Rate dan Giro Wajib Minimum (GWM).
Cetak uang dengan arti BI menyalurkan uang secara langsung atau ‘dibagi-bagikan’ kepada masyarakat atau pihak yang terkait ditolak mentah-mentah.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan kebijakan mencetak uang kemudian disalurkan kepada masyarakat tidak sesuai dengan kebijakan moneter di dalam negeri.
"Ini mohon maaf, pandangan itu tidak sejalan dengan kebijakan moneter yang prudent. Mohon maaf nih, betul-betul mohon maaf. Jangan membingungkan masyarakat," tegas Perry, Kamis (6/5/2020).
Baca Juga
Asisten Gubernur BI bidang Stabilitas Sistem Keuangan dan Kebijakan Makroprudensial Juda Agung meluruskan kembali hal tersebut.
Menurutnya, cetak uang atau printing money tidak selalu dikaitan dengan kegiatan fisik. Uang ada berbagai jenis, ada uang kartal, yakni uang rupiah yang kita pegang dan uang giral serta uang kuasi.
Bentuk uang giral yaitu cek, giro, kartu kredit dan telegraphic transfer. Sementara itu, uang kuasi yaitu surat berharga seperti deposito jangka panjang dan rekening valas.
Untuk uang kartal, Juda mengungkapkan jumlah yang beredar memang tidak banyak, hanya 8-10 persen.
“Yang banyak itu uang giral dan uang kuasi dalam bentuk tabungan deposito dan dalam bentuk giro dan sebagainya,” ujarnya dalam kuliah umum yang diadakan BI dan Universitas Padjajaran secara online, Rabu (20/5/2020).
Uang kartal hanya dicetak ketika ada peningkatan kebutuhan secara natural dari masyarakat, misalnya saat Lebaran. Biasanya BI mencetak lebih banyak karena ada kebutuhan untuk zakat, sadaqah, THR dan lain sebagainya.
Namun, dia menegaskan uang giral dan uang kuasi yang beredar didalam sistem perbankan juga sebenarnya hasil ‘cetak uang’ yang dilakukan BI melalui operasi moneter melalui pembelian SBN.
Tidak hanya dihasilkan melalui pembelian SBN, kebijakan pelonggaran giro wajib minimum (GWM) yang dilakukan BI bagi perbankan juga otomatis menambah pasokan uang di dalam sistem perbankan.
“Itu otomatis ada money supply atau money creation. Kalau GWM diturunkan multiplier-nya meningkat, bank create money sendiri.”
Menurutnya, proses ini adalah proses money creation atau ‘cetak uang’ juga yang dikenal dengan istilah quantitative easing. Saat ini, total quantitative easing melalui injeksi likuiditas ke perbankan telah mencapai Rp503,8 triliun.
Alhasil, dia menuturkan likuiditas perbankan saat ini sangat ‘ample’. Bahkan, Juda mengungkapkan jumlah surat berharap yang dipegang perbankan mencapai lebih dari Rp900 triliun hingga saat ini.
Oleh sebab itu, dia menekankan cetak uang tidak hanya dilakukan secara fisik. ‘Cetak uang’ ala BI bisa dilakukan dengan cara pelonggaran makroprudensial.