Secara obyektif krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 berdampak kepada semua pelaku ekonomi di Indonesia dan dunia. Dalam artikel ini, penulis mencermati dua kebijakan pemerintah dalam upaya menyelamatkan dan memulihkan perekonomian nasional, khususnya menjaga stabilitas sektor keuangan.
Pertama, memberikan subsidi bunga pinjaman bagi perbankan yang menjalankan program restrukturisasi pinjaman debitur segmen ultra mikro dan UMKM.
Kedua, melakukan penempatan dana untuk menyangga likuiditas perbankan melalui Bank Peserta yang disalurkan ke Bank Pelaksana (Bank Buku I, II dan III) yang menjalankan program restrukturisasi. Seberapa besar pengaruh kebijakan itu dalam menekan risiko likuiditas perbankan?
Sirkulasi likuiditas perbankan berasal dari dua sisi, yakni aktiva dan pasiva. Sisi aktiva komponen terbesarnya adalah kredit, sementara pasiva pada dana pihak ketiga. Semakin lancar pembayaran cicilan bunga dan pokok pinjaman dari semua segmen tersebut, makin bagus likuiditas perbankan. Begitu pula sebaliknya.
Program restrukturisasi yang dijalankan saat ini sebagai dampak pandemi ternyata dibatasi persyaratan tertentu. Singkatnya, debitur adalah UMKM atau perorangan yang sehat dan lancar sebelum pandemi. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan hingga 18 Maret 2020, ada 95 bank yang menjalankan program restrukturisasi pinjaman UMKM dengan outstanding pinjaman Rp225,1 triliun. Total pinjaman UMKM di perbankan nasional hingga Februari 2020 mencapai Rp1.039 triliun. Itu artinya baru 21,7% pinjaman UMKM yang direstrukturisasi.
Bagaimana dengan nasib 78,3% pinjaman UMKM lainnya? Bagaimana dengan nasib segmen non-UMKM dengan plafon pinjaman diatas Rp10 miliar dan akumulasi total pinjaman di perbankan yang mencapai Rp4.500 triliun? Hipotesis penulis, salah satu indikator penyebab rendahnya realisasi pinjaman UMKM yang direstrukturisasi adalah adanya persyaratan ‘kualitas kredit lancar’ sebelum Covid-19.
Padahal, debitur yang mengajukan restrukturisasi kredit sebetulnya debitur yang menunjukkan gejala tidak sehat atau tidak mampu membayar cicilan bunga dan pokok pinjaman. Dari sudut pandang manajemen likuiditas perbankan, jika 50% dari total outstanding pinjaman harus direstrukturisasi, nilainya mencapai Rp2.770 triliun. Likuiditas bank dari pendapatan bunga selama 6 bulan sejak Mei 2020 dengan asumsi bunga 1% per bulan akan terganggu atau hilang sebesar Rp166,2 triliun.
Dapat dibayangkan berapa besar pengaruh bantuan subsidi bunga pinjaman terhadap upaya menjaga likuiditas perbankan mengingat kebijakan total subsidi bunga itu baru mencapai Rp34,2 triliun. Upaya pemerintah dalam mendukung restrukturisasi berupa subsidi bunga pinjaman dan penempatan dana pemerintah untuk menyangga likuiditas perbankan patut disambut baik. Mekanisme penempatan dana dilakukan secara chanelling melalui Bank Peserta dan Bank Pelaksana.
Bank Pelaksana adalah bank yang akan menerima bantuan likuiditas. Singkatnya, persyaratan Bank Pelaksana yang akan mendapatkan bantuan likuiditas berupa penempatan dana pemerintah adalah bank yang sehat atau sangat sehat. Padahal dari sudut pandang manajemen likuiditas, ketika sebuah bank mengajukan bantuan likuiditas, artinya kesehatan bank sedang terganggu atau memiliki gejala atau indikasi tidak sehat.
Bagaimana dengan kebutuhan likuiditas bank yang menjalankan restrukturisasi tapi tidak lolos menjadi Bank Pelaksana, karena dinilai tidak memenuhi kriteria kesehatan sebagaimana dipersyaratkan OJK? Jika kebutuhan tersebut diperhitungkan, jumlah bantuan likuiditas pemerintah lebih besar lagi.
Dari uraian itu, penulis menengarai masih adanya gap (kesenjangan) antara program restrukturisasi kredit yang dijalankan perbankan dan bantuan subsidi bunga pinjaman serta adanya kesenjangan antara jumlah penempatan dana pemerintah di Bank Peserta dan kebutuhan likuiditas Bank Pelaksana dan likuiditas bank yang tidak termasuk Bank Pelaksana.
Besar kemungkinan gap tersebut disebabkan orientasi kebijakan yang masih fokus pada restrukturisasi segmen UMKM dan persyaratan tingkat kesehatan menjadi Bank Pelaksana yang bersifat normatif.
Untuk memperkecil gap itu, penulis (yang pernah bertugas di Badan Penyehatan Perbankan Nasional periode 1998-2000) ingin menyampaikan beberapa catatan. Pertama, pentingnya kajian menyeluruh terhadap kebutuhan likuiditas faktual semua lembaga keuangan.
Kedua, bantuan likuiditas hendaknya tetap dapat diberikan kepada lembaga keuangan yang mempunyai indikasi tidak sehat juga.
Hipotesis sederhana, lembaga keuangan yang mengajukan bantuan likuiditas adalah lembaga keuangan yang sebetulnya memiliki gejala tidak sehat.
Ketiga, hendaknya kebijakan penempatan dana pemerintah ini menjadi momen bagi pemerintah dan OJK untuk mengevaluasi kondisi likuiditas perbankan dan lembaga keuangan lainnya secara komprehensif.
Keempat, meski total pinjaman atau pembiayaan di lembaga keuangan seperti di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ‘hanya’ Rp110 triliun dan perusahaan pembiayaan ‘hanya’ Rp452 triliun, penulis percaya pemerintah dan OJK akan memberi perhatian dan dukungan yang setara.
Krisis saat ini berbeda dengan krisis 1998 dimana saat itu yang paling terdampak adalah sektor perbankan dan korporasi, kemudian meluas menjadi krisis ekonomi hingga terjadi krisis politik. Jika penanganan krisis ekonomi tidak menyeluruh, hanya fokus ke segmen UMKM maka dampaknya dapat meluas ke krisis sektor keuangan dan perbankan yang biayanya sangat mahal.
Harapan kita, program restrukturisasi dapat menyentuh semua segmen usaha dan penempatan dana pemerintah dapat menyangga likuiditas bank dan lembaga keuangan lainnya secara tepat sasaran.