Bisnis.com, JAKARTA — Proyeksi surplus Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan dinilai harus diiringi dengan perbaikan kualitas pelayanan program Jaminan Kesehatan Nasional. Membaiknya kondisi keuangan badan tersebut dinilai dapat membantu penyelesaian sejumlah masalah.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan bahwa BPJS Kesehatan telah mencicil utang klaim carry over dari 2019 senilai Rp15,5 triliun. Gelontoran dana dari peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) senilai Rp48,7 triliun berhasil menghapuskan defisit.
Terbayarnya utang klaim itu membuat BPJS Kesehatan berpotensi mencatatkan surplus arus kas Rp2,56 triliun pada akhir 2020. Timboel menyampaikan apresiasi lunasnya utang BPJS Kesehatan dan berharap surplus dapat terealisasi dalam tiga bulan ke depan.
"Mengenai surplus Rp2,56 triliun, saya kira itu baik dan cashflow dana jaminan sosial bisa tetap terjaga pada 2021. Masalah utamanya sekarang adalah pelayanan yang masih banyak dikeluhkan, itu harus diatasi saat sudah surplus," ujar Timboel kepada Bisnis, Kamis (17/9/2020).
Dia menjelaskan bahwa selama ini pihak BPJS Kesehatan kerap menyebutkan pelayanan yang kurang maksimal terjadi karena tersendatnya pembayaran klaim ke rumah sakit. Oleh karena itu, menurut Timboel, arus kas yang lancar harus menjadi jaminan bagi BPJS untuk memperbaiki layanannya.
"Menurut Pasal 24 ayat 3 Undang-Undang 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional [SJSN], diamanatkan pelayanan harus terus ditingkatkan, dalam segala kondisi, baik defisit maupun surplus. Kalau pakai logika BPJS, berarti pelayanan harus ditingkatkan dengan kondisi surplus," ujarnya.
Baca Juga
Selain itu, terdapat sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan badan tersebut. Timboel menyebutkan di antaranya adalah mengenai kepatuhan peserta dalam membayar iuran, yang harus diatasi dengan penegakan sanksi publik dan peningkatan pelayanan.
Lalu, BPJS Kesehatan pun harus menyelesaikan proses pemadanan data (data cleansing) peserta PBI karena merupakan amanat Peraturan Pemerintah (PP) 76/2015 tentang PBI Jaminan Kesehatan. Selain itu, BPJS pun perlu mengantisipasi penurunan perolehan iuran karena peserta yang turun kelas.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menjelaskan bahwa pada Juli 2020, pihaknya sudah tidak memiliki utang klaim jatuh tempo. BPJS memiliki utang klaim belum jatuh tempo sebesar Rp1,75 triliun dan klaim yang masih dalam proses verifikasi (outstanding claim) senilai Rp1,37 triliun.
Dia menjelaskan bahwa secara arus kas, BPJS Kesehatan dapat mengalami surplus Rp2,56 triliun pada penghujung 2020. Namun, BPJS Kesehatan akan terus melakukan pengembangan kondisi keuangan agar bisa memenuhi ketentuan pencadangan.
"Proyeksi arus kas kami memang surplus, tapi sebetulnya kalau melihat Undang-Undang, yang harus dilihat adalah proyeksi asset netto. Kami masih banyak minusnya kalau dilihat dari sisi asset netto, hampir Rp20 triliun," ujar Fachmi dalam rapat dengan Komisi IX DPR, Kamis (17/9/2020).
Dia menjabarkan bahwa BPJS Kesehatan harus memiliki pencadangan dana selayaknya perusahaan asuransi. Pencadangan itu di antaranya memperhitungkan potensi penagihan klaim dalam beberapa bulan ke depan, tujuannya agar klaim dapat tetap dibayarkan jika badan tersebut mengalami tidak dapat beroperasi atau mengalami kendala besar.