Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi Indonesia akan memasuki fase resesi pada kuartal ketiga tahun ini. Berdasarkan proyeksi pemerintah, ekonomi kuartal III/2020 akan terkontraksi -2,9 hingga -1,1 persen.
Akibat dari pandemi Covid-19, pemerintah harus menerapkan pengetatan aktivitas ekonomi, yang akhirnya berdampak pada mobilitas masyarakat dan penurunan konsumsi masyarakat.
Bank Indonesia sebagaimana diketahui telah memangkas BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) menjadi 4 persen. Pada Rapat Dewan Gubernur terakhir pada Agustus lalu, BI memutuskan untuk menahan BI7DRR di level 4 persen.
Kebijakan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar, di tengah inflasi yang diperkirakan tetap rendah.
BI kembali menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) rutin pada 12-13 Oktober. Lantas, apakah BI akan kembali menahan atau justru menurunkan suku bunga acuan yang saat ini berada di level 4 persen?
Menurut Peneliti Ekonomi Senior Institut Kajian Strategis (IKS) Eric Alexander Sugandi, pada RDG Oktober ini, BI akan menahan suku bunga acuan dengan mempertimbangkan stabilitas nilai tukar rupiah.
Baca Juga
"Saya expect akan stay di 4 persen," katanya kepada Bisnis, Jumat (9/10/2020).
Eric berpendapat, penurunan suku bunga acuan BI jika dilakukan tidak akan banyak berdampak pada sisi permintaan, khususnya pada pertumbuhan kredit.
Justru sebaliknya, penurunan suku bunga BI akan berisiko menekan rupiah. "Walaupun hari ini rupiah menguat, tapi masih ada risiko tekanan terhadap rupiah, di antaranya global markets masih volatile karena Covid-19, juga ada risiko volatilitas menjelang pilpres Amerika Serikat di November," jelasnya.
Eric pun memperkirakan, suku bunga acuan akan tetap dipertahankan BI pada level 4 persen hingga akhir 2020.
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro juga memproyeksikan suku bunga acuan akan ditahan di level 4 persen karena ketidakpastian global masih tinggi pada RDG Oktober ini.
Namun demikian, menurutnya masih ada ruang bagi BI untuk memangkas suku bunga sebesar 50 basis poin hingga menjadi 3,5 persen.
"Kami masih mempertahankan perkiraan suku bunga BI akhir tahun sebesar 3,50 persen. Menurut kami penurunan suku bunga tidak akan dilakukan dalam pertemuan moneter bulan ini pada 12-13 Oktober," katanya.
Satria mengatakan, masih dibutuhkan sikap hati-hati atas perkembangan kondisi eksternal saat ini. Di sisi eksternal, masih ada ketidakpastian stimulus di Amerika Serikat dan munculnya klaster Covid-19 di Gedung Putih. Padalah, pemilihan Presiden AS semakin dekat.
Hal ini, menurut Satria, akan memicu ketidakpastian di pasar keuangan dan nilai tukar di negara-negara berkembang.
Namun, di sisi lain terjadi pemulihan di sisi eksternal, terutama China, yang bisa mendorong prospek ekspor ke depan. Pemerintah China pun dinilai akan mendorong impor dan konsumsi domestiknya.
"Ini seharusnya menguntungkan eksportir Indonesia seperti batu bara, nikel, minyak sawit, dan baja, mengingat status China sebagai konsumen terbesar komoditas Indonesia," jelasnya.