Bisnis.com, JAKARTA - Fenomena penerapan prinsip syariah pada industri atau lembaga keuangan syariah di Indonesia berkembang pesat dalam dekade terakhir ini. Hal ini terlihat dari pertumbuhan jumlah lembaga keuangan syariah dengan kurang lebih 4.000 institusi pada 2020. Mereka menawarkan beragam jasa dan produk syariah.
Pada peringkat global, tren perkembangan bisnis keuangan syariah menunjukkan penerimaan yang kuat, tidak hanya di negara muslim atau negara dengan penduduk muslim tapi juga di negara bukan muslim.
Menurut catatan New Horizon: Global Perspective on Islamic Banking and Insurance pada 2020, kurang lebih 90 negara di semua benua telah memanfaatkan keunggulan dari sistem keuangan syariah ini.
Sistem keuangan syariah memang tidak diperuntukkan bagi umat Islam tapi untuk seluruh umat. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya seperti keadilan, transparansi, pemerataan ekonomi dan pengentasan kemiskinan adalah bersifat universal.
Universalitas keuangan dan bisnis syariah semakin terasa ketika negara-negara seperti Hong Kong, China dan bahkan Rusia terlibat aktif mendirikan lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan syariah. Negara-negara yang selama ini diasumsikan sangat kental afiliasinya dengan komunisme atau sosialisme menerima dengan sangat terbuka kehadiran sistem keuangan syariah.
Menariknya, perkembangan lembaga keuangan dan bisnis syariah saat ini tidak lepas dari peran ulama dan ahli ekonomi syariah, baik sebagai individu maupun di lembaga fatwa keagamaan.
Baca Juga
Peran sentral mereka biasanya diarahkan untuk memberikan pandangan keagamaan yang dihadapi umat untuk kemudian dicarikan pandangan hukum Islam atas persoalan yang ada secara tuntas, tegas dan final (Mubarok dan Hasanudin, 2013).
Selain itu, para ulama juga terwujud dalam lembaga fatwa Islam yang akan melakukan ijtihad untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi umat. Dalam rangka membina lembaga keuangan syariah, para ulama bertransformasi menjadi penasihat syariah yang menciptakan banyak pedoman bagi industri seperti Dewan Syariah Nasional-MUI dan Dewan Pengawas Syariah pada industri bisnis yang menjalankan prinsip syariah.
Tidak hanya memberikan pandangan hukum Islam bagi pengembangan produk syariah tapi juga memberikan arahan dan masukan strategis bagi pengembangan industri syariah melalui fatwa yang mengikat para pelaku pasar.
Tujuannya untuk mempromosikan dan memperluas industri syariah di pelbagai sektor keuangan yang dibutuhkan umat Islam pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pada dasarnya, fatwa Dewan Syariah Nasional-MUI dibuat atas permohonan pihak mustafti (industri/asosiasi/regulator) yang pada umumnya bermaksud untuk dijadikan panduan dalam penyusunan regulasi bisnis dengan sistem syariah dan/atau dijadikan panduan bisnis bagi pihak industri.
Karena berdasarkan permohonan masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dengan tuntutan pasar dan keperluan bisnis lainnya, maka karakter dasar dari fatwa tersebut semestinya bersifat dinamis dan fleksibel.
Fleksibelitas fatwa ini tidak bisa dilepaskan dari kedudukan seorang mufti (ulama) dalam merespon pertanyaan mustafti (industri/regulator/asosiasi) yang dilatari dinamika bisnis dan keuangan syariah yang cenderung cepat dan dinamis.
Dalam konteks Indonesia, hasil pemikiran dalam menghasilkan fatwa produk dan jasa keuangan syariah sejatinya berasal dari ijtihad para ulama dan pakar ekonomi syariah yang tergabung dalam institusi resmi Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
Lembaga inilah yang memiliki otoritas tunggal dalam mengeluarkan fatwa tentang ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, tentunya dalam kerangka pengembangan industri syariah di Tanah Air.
Berpijak pada realitas perubahan sosial dalam bidang muamalah/bisnis syariah yang terus berkembang cepat akibat dari akselerasi globalisasi dan lainnya, pola ijtihad dalam menghasilkan produk dan jasa industri syariah tak cukup secara apriori bersandar pada kitab-kitab fikih klasik, mengingat formulasi fikih klasik masa lampau sudah banyak yang mengalami irelevansi dengan konteks kekinian dan kedisinian.
Rumusan-rumusan yang berlimpah tersebut harus diformulasi ulang agar menjawab segala problem dan kebutuhan ekonomi keuangan modern dengan tatap berpijak pada prinsip universalitas Islam dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Rumusan fikih muamalah maliyah yang lengkap, berlimpah dan mendetail yang terdapat dalam kitab-kitab fikih klasik, yang notabene sebagian besarnya merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu dalam memecahkan dan menjawab tantangan ekonomi di zamannya, harus dijadikan panduan umum sembari melakukan kontekstualisasi.
Konsep dan formulasi fikih klasik dalam merespon tantangan ekonomi modern yang ada perlu diapresiasi secara kritis sesuai konteks zamannya, tempat, dan situasi, kemudian dikembangkan sesuai dengan tantangan zaman dengan menggunakan ijtihad kreatif dalam koridor syariah.