Bisnis.com, JAKARTA — Operasional bisnis asuransi minyak dan gas atau migas masih bergantung kepada dukungan reasuransi luar negeri, seiring terbatasnya kapasitas perusahaan-perusahaan dalam negeri. Peningkatan kapasitas dalam negeri dinilai mampu mendongkrak daya saing bisnis sekaligus menekan aliran modal ke luar negeri.
Wakil Ketua Bidang Pemasaran Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Diwe Novara menjelaskan bahwa kegiatan hulu migas merupakan bisnis yang menggunakan teknologi tinggi, berisiko tinggi, dan investasi sangat besar. Hal itu pun membuat kebutuhan penutupan asuransinya sangat besar.
Di industri asuransi umum, tercatat hanya 14 perusahaan asuransi yang menyediakan proteksi asuransi migas, dari total 77 perusahaan. Menurut Diwe, hal tersebut berkaitan dengan kapasitas perusahaan dalam memproteksi risiko sebesar bisnis migas, selain faktor orientasi dan strategi bisnis masing-masing perusahaan.
"Kurangnya ekuitas, kurangnya tenaga ahli [terkait migas di industri asuransi umum] membuat penutupan asuransi migas bergantung kepada reasuransi luar negeri. Ekuitas yang dimiliki asuransi nasional tidak bisa digunakan 100 persen untuk penutupan asuransi migas," ujar Diwe dalam gelaran webinar Peran Asuransi dalam Menunjang Kegiatan Hulu Migas, Rabu (14/7/2021).
Dia menjabarkan bahwa industri asuransi umum hanya dapat mengerahkan 10 persen ekuitasnya untuk melakukan penutupan asuransi migas. Saat ini, ekuitas maksimal yang bisa dikerahkan industri asuransi umum berkisar US$4 miliar.
Menurut Diwe, nilai aset hulu migas di Indonesia per 2021 mencapaiUS$38 miliar. Ekuitas asuransi umum pun baru mencakup sekitar 10 persen dari total aset yang harus diproteksi, sehingga kebutuhan dukungan reasuransi luar negeri masih begitu besar.
"Dibandingkan itu maksimal hanya 10 persen [ekuitas yang dapat digunakan untuk asuransi migas], 90 persennya menggunakan kapasitas reasuransi luar negeri. Oleh karena itu sampai saat ini reasuransi luar negeri yang menentukan besaran premi serta term and rate condition asuransi migas," ujarnya.
Berdasarkan Laporan Neraca Pembayaran Indonesia dari Bank Indonesia (BI), industri jasa asuransi dan dana pensiun masih mencatatkan defisit. Pada kuartal I/2021, defisit tercatat sebesar US$252 juta, karena ekspor jasa asuransi dan dana pensiun senilai US$30 juta masih berhadapan dengan impor US$282 juta.
Catatan awal tahun ini meningkat dibandingkan dengan posisi kuartal I/2020 dengan defisit sebesar US$213 juta. Saat itu, terdapat ekspor jasa asuransi dan dana pensiun senilai US$23 juta dan impornya senilai US$236 juta.
Impor neraca pembayaran industri jasa asuransi dan dana pensiun di antaranya berasal dari pembayaran reasuransi kepada perusahaan luar negeri. Selain di lini bisnis asuransi energi, penggunaan reasuransi luar negeri memang banyak digunakan sebagai upaya penyebaran risiko setelah digunakannya reasuransi dalam negeri.
"Otoritas Jasa Keuangan [OJK] pun mendorong setiap tahun industri [asuransi umum] untuk meningkatkan kapasitasnya, dengan semangat merah putih untuk mencegah aliran modal ke luar negeri. Utilisasi perlu ditingkatkan demi pendapatan yang lebih besar di dalam negeri," ujar Diwe.
AAUI mencatat bahwa pada kuartal I/2021, premi reasuransi dari lini bisnis energi mencapai Rp303,36 miliar. Jumlah itu mencakup 5,46 persen dari perolehan premi industri reasuransi per kuartal I/2021senilai Rp5,54 triliun.
"Pertumbuhan ekuitas juga ke depan diharapkan mengurangi ketergantungan pada reasuransi di luar negeri," ujar Diwe.