Bisnis.com, JAKARTA - Menyambut Hari Asuransi atau Insurance Day pada 18 Oktober, perkumpulan korban produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unitlink bertajuk Komunitas Korban Asuransi justru mengungkap kekecewaan terhadap industri.
Koordinator Komunitas Korban Asuransi Maria Trihartati mengungkap setidaknya ada 6 praktik-praktik pemasaran yang sengaja mengarah kepada mis-selling, yang akan pihaknya adukan langsung melalui surat terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo.
"Mohon sekali agar bapak Presiden tahu semua fakta sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Ini semua kenyataan yang terjadi di seluruh pelosok negeri, yang membuat ratusan orang disesatkan untuk membeli produk asuransi unitlink," ujarnya mengungkap petikan surat terbuka tersebut kepada Bisnis, Senin (18/10/2021).
Mewakili lebih dari 200 orang anggota yang tergabung dalam Komunitas Korban Asuransi di seluruh Indonesia, Maria mencatat bahwa masalah yang kerap muncul dan perlu disoroti, yaitu penawaran dengan ilustrasi yang 'baik-baik' saja.
"[Pertama] Ketika menawarkan produk asuransi yang dicampur dengan investasi, fakta di lapangan perusahaan melalui agennya menjual, menawarkan, dan memprospek nasabah dengan menggunakan ilustrasi. Di mana asumsi investasi selalu untung dari 5 sampai 15 persen, tidak ada asumsi nol atau minus, padahal ilustrasi sendiri tidak termasuk dalam polis," ujarnya.
Kedua, biaya asuransi dan resikonya karena kerap agen menawarkan tanpa menjelaskan semua biaya. Mulai dari biaya akuisisi, biaya asuransi, biaya cetak polis, biaya administrasi, biaya manajer investasi, biaya switching, biaya cuti premi, biaya tarik tunai, sampai akhirnya biaya penutupan polis.
Baca Juga
"Karena pada tahun pertama uang premi nasabah 100 persen diambil untuk biaya akusisi, dan sepenuhnya menjadi hak perusahaan, maka pada tahun pertama dan kedua nasabah masih terhitung utang kepada perusahaan untuk membayar biaya-biaya yang lain. Baru tahun ketiga nasabah terbebas dari utang tersebut. Dari sini saja sudah kelihatan bahwa uang nasabah lenyap seketika, bagaimana mau berkembang?" jelas Maria.
Ketiga, berkaitan sistem penjualan, di mana agen yang direkrut oleh perusahaan asuransi dengan di sertifikasi oleh Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dinilai punya banyak cacat.
"Kami tahu ada keagenan dengan sistem MLM [multi level marketing]. Ini sangat sangat menggiurkan, apalagi dengan komisi 30 persen pada tahun pertama. Hal inilah yang membuat agen agen asuransi hanya berlomba-lomba mencari nasabah. Agen yang bagus diberi penghargaan, agen yang tidak menghasilkan ditendang, agen yang tidak jujur tidak ada yang di pidana," ungkapnya.
Keempat, Komunitas Korban Asuransi menilai perekaman suara saat agen atau tenaga pemasar memprospek nasabah tidak pernah keluar sebagai bukti, perusahaan selalu berkelit.
Kelima, soal bancassurance, di mana penjualan asuransi unitlink lewat bank ibarat 'menembak gajah didalam kebun binatang' seperti dikutip para pakar.
"Masyarakat datang ke bank untuk menabung, tetapi dibelokkan kepada produk asuransi yang ditawarkan layaknya tabungan atau investasi yang bunganya lebih dari tabungan bank itu sendiri, lagi-lagi dengan disodorkan ilustrasi. Kenapa bank ikut menjebak nasabahnya ke dalam produk asuransi unit-link?" jelas Maria.
Terakhir, rumitnya produk unitlink dan risiko yang terlalu besar untuk ditanggung sendiri oleh pemegang polis. Apalagi ketika mereka tidak tahu ke mana investasinya mengalir.
"Produk unitlink tidak layak dan tidak boleh diperjualbelikan oleh dan kepada masyarakat yang awam, harus masyarakat yang sudah paham. Tetapi, dengan semua resikonya, jika orang sudah paham asuransi unitlink, maka dia tidak akan membelinya. Produk ini sangat menyesatkan bagi masyarakat Indonesia yang literasi tentang asuransi baru 13 persen," tutupnya.
Oleh sebab itu, Maria dan rekan-rekan komunitas berharap negara mampu mengembalikan marwah asuransi untuk memproteksi masyarakat Indonesia, lewat menghapuskan produk unitlink dan kembali ke asuransi tradisional.
Pasalnya, fakta yang terjadi justru masyarakat menengah yang kelihatan 'punya tabungan' yang jadi sasaran, mulai dari pedagang makanan, dosen, polisi, sampai tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri, di mana tak jarang harus menandatangani surat pembungkaman ketika ingin keluar dari jeratan unit-link.