Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) berupaya mendorong seluruh anggotanya untuk terlibat kolaborasi dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) seantero Indonesia.
Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah menjelaskan seruan ini bukan hanya demi memenuhi imbauan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar platform P2P lending rajin bekerja sama dengan lembaga jasa keuangan konvensional, namun sekaligus memperbesar dampak sosial industri terhadap pelaku UMKM di daerah atau kota kecil.
"Kami melihat pengenalan terhadap produk-produk fintech P2P lending masih belum terlalu baik. Jadi kolaborasi dengan komunitas atau stakeholder terkait ekonomi mikro, akan menjadi fokus industri di 2022," ujarnya dikonfirmasi Bisnis, Rabu (12/1/2022).
Menurut Kus, kolaborasi dengan LJK konvensional termasuk BPR akan semakin agresif pada tahun ini. Salah satunya, karena seluruh pemain industri, yaitu sebanyak 103 platform telah berizin, menandakan industri P2P lending mulai memasuki fase matang dan sudah setara dengan industri jasa keuangan yang lebih senior.
Selain itu, Kus menekankan bahwa tak semua LJK bisa mengakomodasi operasional layanan seperti P2P lending, yaitu pinjaman tenor singkat, proses cepat, full digital, dan tanpa jaminan. Oleh sebab itu, kerja sama menjadi pendana (lender) institusi merupakan pilihan paling masuk akal dan efisien.
Terlebih, terkhusus BPR yang terbilang lambat mengadaptasi teknologi, masih memprioritaskan akuisisi pengguna secara tatap muka, serta analisis risikonya terbilang mahal karena dilakukan secara manual.
"Tahun lalu OJK sudah menerbitkan panduan kolaborasi fintech dengan BPR. Oleh karena itu, sepanjang 2022 kami akan aktivasi potensi ini secara masif, agar semua BPR punya ruang untuk bekerja sama dengan para anggota kami yang telah berizin," tambah Kus.
Sebagai gambaran, apabila melihat statistik fintech P2P lending OJK per November 2021, sudah ada 51 BPR yang menjadi lender institusi dan memiliki outstanding Rp176,06 miliar.
Capaian ini naik jauh dibandingkan Januari 2021, di mana baru terdapat 25 BPR yang memiliki outstanding via platform P2P lending sebesar Rp39,07 miliar.
Sebelumnya, OJK melihat kerja sama antara fintech P2P lending dengan BPR merupakan kunci memperbesar inklusi keuangan di daerah dan kota kecil, karena kedua industri bisa saling melengkapi kelebihan dan kekurangan satu sama lain.
Ketika suatu BPR menjadi lender institusi, fintech P2P lending yang memiliki keterbatasan dalam SDM dan bergantung penuh pada infrastruktur digital, bisa lebih mudah menyalurkan pinjaman ke wilayah BPR terkait.
Pasalnya, BPR punya kelebihan lebih paham budaya masyarakat lokal, terutama pelaku usaha lokal yang akan menjadi peminjam dana (borrower). BPR juga memiliki kecenderungan sanggup merangkul nasabah loyal, karena prinsip bisnisnya erat berkaitan dengan kedekatan personal dengan warga setempat.
Adapun, platform P2P lending sanggup mengakomodasi digitalisasi transaksi buat BPR. Inklusi keuangan pun meningkat karena membuka peluang warga pedesaan mempelajari produk-produk keuangan yang lebih variatif.
Selain itu, borrower bisa mendapat produk pinjaman yang lebih fleksibel di platform P2P lending, seperti pinjaman supply chain, bridging loan, dan invoice financing tanpa agunan, yang notabene sulit diwujudkan apabila mengakses BPR secara langsung.