Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bos BCA (BBCA): Risiko Kenaikan Suku Bunga Akan Bebani Pelaku Usaha

BCA (BBCA) mencermati tantangan ekonomi pada 2022 masih diliputi oleh risiko kenaikan suku bunga seiring dengan kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, yang semakin ketat.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja/Istimewa
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) melihat bahwa tantangan ekonomi pada 2022 masih diliputi oleh risiko kenaikan suku bunga seiring dengan kebijakan moneter Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, yang semakin ketat.

Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan apabila terjadi kenaikan suku bunga, maka hal itu akan menjadi beban bagi pelaku usaha Tanah Air dalam proses pemulihan akibat dampak Covid-19. Apalagi, situasi global saat ini membuat harga produksi dan komoditas melambung.

“Kita harus mengatur pace yang baik agar sama-sama bisa tertolong. Sedapat mungkin kita tahan kenaikan suku bunga kalau memang tidak betul-betul meningkatkan cost of fund,” ujar Jahja dalam diskusi virtual, Selasa (23/3/2022).

Jahja mengatakan dalam menghadapi tekanan tersebut, likuiditas BCA masih cukup baik tercermin dari loan to deposit ratio (LDR) yang berada di angka 62 persen. Di sisi lain, perseroan saat ini bakal fokus pada kredit bank.

“Memang LAR [loan at risk] kami cukup rendah 14,6 persen. Namun, ini masih suatu proses, kami harus amati satu per satu ke depan bagaimana. Apakah mereka [pengusaha] akan terus sulit, apakah kami bisa bantu mereka kembali survive. Kita harapkan ini membaik,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, pelaku usaha di Tanah Air kini menghadapi risiko kenaikan suku bunga sejalan dengan kebijakan moneter The Fed yang semakin ketat. Pasalnya, langkah yang dilakukan The Fed sangat mungkin memengaruhi kebijakan moneter Bank Indonesia (BI).

Namun, BI dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 16 – 17 Maret 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50 persen, suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 4,25 persen.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan ini seiring perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan terkendalinya inflasi, serta upaya mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan eksternal yang meningkat. Terutama terkait ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina.

RDG BI memandang bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat seiring dengan perbaikan konsumsi rumah tangga dan investasi nonbangunan. BI juga mencatat kinerja ekspor yang baik, meskipun tidak setinggi tahun lalu.

Adapun, kinerja ekspor ditopang oleh kenaikan harga komoditas. Kinerja ekspor ini berpengaruh langsung terhadap neraca transaksi berjalan sehingga pada akhirnya mempengaruhi ketahanan rupiah. BI pun melihat prospek pemulihan ekonomi akan tetap berlanjut.

Perry menuturkan bahwa BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini berada di rentang angka 4,7 hingga 5,5 persen. Namun, peningkatan ketidakpastian pada pasar global akan memengaruhi capital inflow ke Tanah Air.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dionisio Damara
Editor : Azizah Nur Alfi
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper