Bisnis.com, JAKARTA – Angin segar bagi pelaku ekonomi kreatif untuk mendapatkan kemudahan sumber pembiayaan dari lembaga keuangan kini berada di pucuk.
Langkah pemerintah dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif dinilai menjadi sebuah terobosan bahwa hak cipta atau hak kekayaan intelektual (HKI) bisa menjadi agunan atau jaminan untuk pinjaman perbankan.
Beleid yang diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 12 Juli 2022 itu mulai berlaku 1 tahun sejak tanggal diundangkan.
Dikutip dari Statistik Industri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2020, ekonomi kreatif merupakan salah satu sektor yang diharapkan mampu menjadi pilar perekonomian Indonesia di masa mendatang.
Dalam survei tersebut mengungkapkan bahwa pada saat ini, pertumbuhan ekonomi kreatif di Indonesia menunjukkan tren positif, sehingga perkembangan dari sektor ini menjadi salah satu fokus pemerintah.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2015, terdapat 16 subsektor ekonomi kreatif, di antaranya arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, serta film, animasi, dan video.
Baca Juga
Kemudian diikuti dengan fotografi, kriya, kuliner, musik, fashion, aplikasi dan game developer, penerbitan, periklanan, televisi dan radio, seni pertunjukan, dan seni rupa.
Kini, para pelaku ekonomi kreatif akan dengan mudah mendapatkan sumber pembiayaan dari lembaga keuangan bank maupun nonbank.
Meski dinilai menjadi terobosan di industri ekonomi kreatif, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan peraturan tersebut menjadi sesuatu yang kompleksitas, sebab aset yang dijamin merupakan aset tidak berwujud.
“Belajar dari berbagai negara adalah bank mungkin akan cenderung hati-hati karena agunan berbentuk intangible asset [aset tidak berwujud] itu relatif dihindari karena mungkin berkaitan dengan risiko,” kata Bhima kepada Bisnis, Jumat (22/7/2022).
Dia mencontohkan Singapura yang meluncurkan skema pembiayaan kekayaan intelektual (IP/Intellectual Property) pada 2014. Di sana, kata Bhima, perusahaan yang ingin mengajukan pembiayaan, terlebih dahulu mendaftar ke The Intellectual Property Office of Singapore (IPOS).
Mengutip dari Jurnal Negara Hukum Volume 8 No.1 yang diterbitkan pada 20 Juni 2017, IPOS bertugas untuk mengelola HKI dengan cara memberikan kesadaran hukum kepada masyarakat luas akan pentingnya perlindungan HKI, menyediakan infrastruktur, dan memfasilitasi pengembangan HKI.
“Singapura itu pemerintahnya menjamin 80 persen NPL [non performing loan/kredit macet] dari agunan hak cipta ditanggung oleh pemerintah, sehingga bank lebih berani untuk memberikan pinjaman kepada pelaku usaha ekonomi kreatif,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Bhima dari sisi teknis kurator yang menilai apakah suatu karya seni atau karya industri kreatif tersebut memiliki nilai di pasar dan berapa nilainya. “Karena itu akan menentukan besaran plafon yang akan diberikan,” terangnya.
Adapun dari tingkat suku bunga pinjamannya juga akan menentukan. Menurut Bhima, ada kemungkinan pemain yang baru mengalami kesulitan dalam mengakses, karena nilai pasar dari hak kekayaan intelektual tidak akan setinggi dari rumah produksi film atau penyanyi yang sudah memiliki nama.
Tak hanya itu, kesiapan dari masing-masing bank juga menjadi tantangan. Pasalnya, perbankan harus membutuhkan sumber daya manusia atau SDM untuk melakukan analisis kredit terhadap agunan berbasis hak cipta atau HKI.
Kendati demikian, Bhima menyampaikan PP No. 24 Tahun 2022 telah menjadi terobosan, sejalan dengan perkembangan ekonomi kreatif yang merangkak naik.
“Harapannya dengan ada payung hukum ini, bank bisa lebih peduli terhadap perkembangan ekonomi kreatif,” ungkapnya.
Senior Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Amin Nurdin mengatakan beleid tersebut menjadi kesempatan bagi perbankan untuk mendapatkan peluang guna mengekspansi kredit.
Amin berharap baik bank maupun industri keuangan yang menyalurkan kredit atau pembiayaan syariah banyak belajar lagi lebih dalam ketentuan tersebut untuk melihat celah risiko dan memitigasi risiko yang mungkin akan muncul ke depan, seperti risiko hukum hingga risiko kredit.
Ke depan, sambung Amin, semua data akan mudah diakses oleh industri. Dengan demikian, itu memudahkan dalam analisis dan semua proses juga sebagian besar sudah menggunakan mesin, baik credit scoring maupun risiko dan potensi bisnis calon debitur sehingga lebih sederhana dan memiliki proses yang cepat.