Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bali Dibayangi Kredit Macet, Bank Indonesia (BI): Butuh Kebijakan Khusus

Segmen hotel, restoran dan cafe di Bali memiliki loan at risk (LAR) mencapai 81,86 persen. Sedangkan kredit macetnya menyentuh 8,57 persen.
Sejumlah remaja membuat gebogan atau sesajen berisi buah, kue, bunga dan hiasan janur saat mengikuti perlombaan di wantilan Pura Agung Petilan Pengerebongan, Denpasar, Bali, Rabu (1/6/2022). Sektor pariwisata menjadi andalan Bali./ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo
Sejumlah remaja membuat gebogan atau sesajen berisi buah, kue, bunga dan hiasan janur saat mengikuti perlombaan di wantilan Pura Agung Petilan Pengerebongan, Denpasar, Bali, Rabu (1/6/2022). Sektor pariwisata menjadi andalan Bali./ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo

Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia provinsi Bali menyampaikan kinerja penyaluran kredit di Bali pada kuartal II/2022 tumbuh sebesar 2,97 persen year on year/yoy, jumlah tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan kredit nasional yang mencapai 10,66 persen.

Ditengah pertumbuhan kredit tersebut, kredit untuk sektor hotel, restoran dan kafe (Horeka) tumbuh melambat secara kuartalan maupun tahunan. Kredit untuk sektor Horeka tumbuh 0,91 persen pada kuartal II/2022, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal I/2022 yang sebesar 1,11 persen yoy dan tumbuh 4,28 persen pada kuartal II/2021.

“Jadi Bali sepertinya masih perlu kebijakan khusus, tidak bisa disamakan dengan di Jawa dan Sumatra,” kata Direktur Eksekutif - Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali Trisno Nugroho.

Dari sisi nonperforming loan (NPL) sektor hotel, restoran dan kafe (horeka) masih tinggi pada level 8,57 persen. Segmen ini memiliki loan at risk (LAR) sebesar 81,86 persen. Adapun jika dibandingkan dengan kuartal I/2022, posisi NPL berada pada posisi yaitu 8,87 persen dan LAR berapa pada 83,56 persen. Pada semester I/2021, NPL horeka berada pada posisi 7,42 persen dan LAR berada pada posisi 83,08 persen.

“Dari 33 maskapai yang ke Bali sebelum Covid-19, sekarang baru 23 maskapai. Jadi belum balik [ke waktu sebelum Covid-19], tetapi 23 ini adalah kantong wisman Bali,” kata Trisno dalam Weinar Series Connex, Kamis (25/8/2022).

Tidak hanya sektor horeka, NPL dan LAR untuk sektor konstruksi juga masih tinggi. NPL dan LAR sektor konstruksi di Bali berada pada posisi 12,43 persen dan 32,71 persen. NPL melandai dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang sebesar 13,56 persen.

Secara agregat, total NPL di Bali berada pada posisi 4,07 persen atau masih di bawah 5 persen, sementara LAR berada pada posisi 39,92 persen. Dibandingkan dengan kuartal I/2022, terjadi penurunan di mana NPL dan LAR pada saat itu berada di level 4,18 persen dan 43,29 persen.

Sebelumnya, sejumlah bankir dan pemerintah telah berbicara kepada OJK, berharap agar masa restrukturisasi kredit untuk sektor dan daerah tertentu diperpanjang.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan permintaan perpanjangan restrukturisasi kredit yang disampaikan pemerintah sejalan dengan permintaan dari perbankan, namun nanti dalam pelaksanaannya akan ada pengarahan dari OJK.

“OJK akan mengarakah tentang industri dan regional serta kriteria lainnya [restrukturisasi kredit] sehingga lebih terarah menolong nasabah yang memang membutuhkan,” kata Jahja.

Sementara itu Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan perpanjangan restrukturisasi kredit akan sangat membantu. Pasalnya, belum semua bisnis dan kegiatan kembali normal seperti sebelum Covid-19.

“Terutama untuk bisnis hospitality dan daerah yang amat tergantung dari pariwisata. Jadi mungkin bisa diberikan perpanjangan untuk industri dan daerah tertentu,” kata Lani.

Dia juga mengatakan perpanjangan restrukturisasi kredit terdapat banyak nilai plusnya, daripada minusnya. Sebab nantinya setiap bank maupun lembaga keuangan akan melihat nasabah nya satu per satu apakah memenuhi syarat atau tidak.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan restrukturisasi kredit dibutuhkan pada masa-masa krisis dan juga pada masa pemulihan ekonomi. Saat Indonesia sudah melewati masa krisis, tetapi ekonomi belum sepenuhnya pulih.

“Apalagi masih ada ketidakpastian di global. Oleh karena itu untuk mendukung pemulihan ekonomi dan juga berjaga-jaga menghadapi ketidakpastian global, memang sebaiknya kelonggaran restrukturisasi kredit diperpanjang hingga 2024,” kata Piter.

Piter mengatakan perpanjangan restrukturisasi kredit yang akan berakhir pada Maret 2023 akan menguntungkan bagi perekonomian nasional karena memberikan ruang pemulihan yang lebih panjang.

Ketika perekonomian sudah benar-benar pulih, dan ancaman krisis dari ketidakpastian global sudah mereda, tidak ada kebutuhan untuk memperpanjang lagi kelonggaran restrukturisasi kredit.

“Perlu dicatat, yang diperpanjang adalah kebijakan kelonggarannya. Restrukturisasi kredit sendiri adalah program yang sudah ada sejak lama dan selanjutnya akan tetap ada,” kata Piter.

Sebelumnya, data OJK menyebutkan per Juni 2022 nilai outstanding restrukturisasi kredit perbankan sebesar Rp576,17 triliun, berkurang lebih dari Rp375 triliun dibandingkan dengan November 2020.

Sementara itu jumlah debitur, juga mengalami pengurangan dari 7,53 juta (November 2020) menjadi 2,99 juta per Juni 2022

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Leo Dwi Jatmiko
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper