Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BI Fast Ancam Pendapatan Non Bunga Bank Pembangunan Daerah? Veda Praxis Bocorkan Solusi

BI-Fast telah mengubah pasar permainan di sistem pembayaran industri perbankan dari berbasis pendapatan komsisi menjadi layanan.
Petugas mengangkut tumpukan uang kertas pada bagian pelayanan perkasan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Jawa Timur, di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (7/6)./Antara-Moch Asim
Petugas mengangkut tumpukan uang kertas pada bagian pelayanan perkasan Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Jawa Timur, di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (7/6)./Antara-Moch Asim

Bisnis.com, JAKARTA – Chief Strategist & Partner Veda Praxis Satya Rinaldi menilai hadirnya infrastruktur pembayaran Bank Indonesia Fast Payment atau BI-Fast telah mengubah pasar permainan di sistem pembayaran.

Satya mengatakan BI-Fast telah membuat semua orang berlomba-lomba untuk masuk ke sistem tersebut. Namun, di sisi lain sejumlah bank besar telah kehilangan banyak pendapatan komisi atau fee-based income (FBI) akibat sistem biaya transfer antarbank yang lebih murah dalam BI-Fast. Layanan transfer keuangan ini semula mengenakan tarif Rp6.500 namun kini hanya menjadi Rp2.500 per transaksi.

BI mencatat jumlah peserta BI-Fast bertambah sebanyak 25 Bank yang masuk sebagai peserta gelombang (batch) keempat. Dengan penambahan tersebut, maka total peserta BI-Fast telah mencapai 77 peserta dan mewakili 85 persen dari pangsa sistem pembayaran ritel nasional.

“Apakah benar bank hanya bisa hidup dengan FBI [fee-based income dari BI-Fast ]?” tanya Satya di acara Collega Customer Gathering 2022 bertajuk 'Collega Mendukung Layanan Teknologi Digital Terkini untuk Meningkatkan Daya Saing yang Tinggi bagi Perbankan di Indonesia', di Bogor, Kamis (1/9/2022).

Satya mengingatkan bahwa fee-based income merupakan pendapatan sampingan bagi bank, khususnya bank pembangunan (BPD). Pasalnya, BPD memiliki dasar bisnis marjin bunga bersih alias net interset margin (NIM) lebih besar dari kredit untuk aparatur sipil negara (ASN).

Oleh karena itu, dia mendorong ndustri keuangan terutama BPD untuk mengadopsi value digitalisasi. Artinya, transformasi digital pada institusi keuangan harus meningkatkan keinginan nasabah untuk membeli atau menggunakan kembali. Ekosistem keuangan digital juga diarahkan agar nasabah merekomendasikan produk dan layanan digital yang dikembangkan sehingga memberikan pendapatan lebih baik bagi perusahaan.

Setelah itu, lanjut Satya, pengembangan layanan digital juga melahirkan pengalaman atau customer experience. Dengan pengalaman tersebut, industri keuangan bisa menerima value baru dari para customer.

Satya mengungkapkan ada kecenderungan bagi institusi keuangan yang ingin memberikan semua value kepada nasabah dalam satu industri keuangan dengan menyiapkan beragam hal, seperti top-up, e-money, hingga e-wallet.

Menurutnya, sudah sepatutnya industri perbankan mendampingi nasabah dengan produk-produk yang memenuhi kebutuhan dasar, salah satunya top-up e-wallet. Hanya dengan memberikan fitur tersebut, perbankan sudah mendampingi agar nasabah bisa berhubungan dengan ekosistem yang dibutuhkan.

“Tidak semua [layanan digital] harus dimiliki, kita bisa bekerja sama dengan pihak lain [kolaborasi]. Konsep ini bisa membuat kita fokus terhadap nasabah dan kita bisa pegang captive market,” pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper