Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menekankan tidak ada perlakuan khusus bagi bank pembangunan daerah (BPD) dalam pemenuhan modal inti Rp3 triliun. Dengan sejumlah skema yang ada, BPD harus sudah memenuhi ketentuan modal inti selambat-lambatnya pada akhir 2023
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap Anggota DK OJK Dian Ediana Rae mengatakan sesuai dengan jenis bank sebagaimana diatur pada Undang Undang Perbankan dan Undang Undang Perbankan Syariah, di Indonesia hanya ada 2 jenis bank, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR).
BPD merupakan bank umum, sehingga seluruh kerangka regulasi bagi BPD adalah kerangka regulasi bagi bank umum.
“Sehingga perlakuan terhadap pemenuhan modal inti BPD akan sama dengan perlakuan terhadap pemenuhan modal inti bank umum, namun demikian sebagaimana diatur dalam POJK konsolidasi, yang membedakan antara bank umum dengan BPD adalah jangka waktu pemenuhannya,” kata Dian kepada Bisnis, Minggu (4/9/2022).
Sekadar informasi, Peraturan OJK No.12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, mengharuskan bank umum untuk memiliki modal inti sebesar Rp3 triliun pada akhir 2022 untuk bank umum dan BPD akhir 2023.
Dia mengatakan berdasarkan data posisi Juli 2022, terdapat 12 BPD yang belum memenuhi modal inti Rp3 Triliun. Saat ini BPD sedang menyusun rencana pemenuhan modal inti minimum yang disesuaikan dengan kondisi rentabilitas dan postur APBD masing-masing daerah.
Baca Juga
Selain itu terdapat beberapa BPD sedang dalam tahap penjajakan untuk membentuk kelompok usaha bank (KUB) yang merupakan salah satu skema konsolidasi sebagaimana diatur dalam POJK.
Sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, bagi bank yang memiliki modal inti di bawah Rp3 triliun dapat membentuk KUB dalam hal rencana penggabungan, peleburan, atau integrasi bank tidak akan meningkatkan skala usaha secara signifikan terhadap bank setelah dilakukan penggabungan, peleburan, atau integrasi dengan tetap memenuhi ketentuan.
“Dalam pembentukan KUB untuk memperhatikan bank induk yang dinilai mampu memenuhi kecukupan permodalan dan likuiditas anggota KUB,” kata Dian.
Sebelumnya, Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi mengatakan perseroan sudah melakukan komunikasi dengan 8 BPD, dan beberapa diantaranya sudah intens berdiskusi dan berkomunikasi terkait langkah-langkah yg perlu dilakukan untuk menuju KUB. Bank BJB berharap hingga akhir 2022 terdapat 3 bank yang tergabung dengan KUB.
KUB, kata Yuddy, dapat menjadi solusi yang efisien karena selain Bank BJB akan membantu dalam aspek permodalan dan likuiditas BPD, Bank BJB yang memiliki model bisnis serupa dengan BPD, membuka peluang penggunaan infrastruktur terutama dari sisi teknologi.
“Infrastruktur teknologi tersebut dapat dipergunakan oleh BPD yang bergabung, sehingga akan lebih efisien,” kata Yuddy,
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah mengatakan dari semua kategori bank, BPD adalah yang paling sulit memenuhi persyaratan modal inti.
Pemegang saham BPD unik. Pemegang saham BPD merupakan pemimpin daerah dengan latar belakang yang beragam dan umumnya, kata Piter, tidak paham perbankan.
“Sulit bagi mereka untuk sepakat menambah modal bank, apalagi mereka juga tidak punya uang untuk itu. Pilihan merger dan akuisisi sangat sulit untuk BPD. Yang paling mungkin mereka lakukan adalah melakukan KUB,” kata Piter.
Piter menjelaskan KUB berbeda dengan merger dan akuisisi. KUB adalah kerja sama bank, tetapi dengan kesepakatan bahwa salah satu pihak dinyatakan sebagai pemegang saham pengendali (PSP) dalam KUB tersebut. Pengendali harus menyuntikan modal.
“Tidak bisa menjadi PSP kalau tidak setor modal atau menyuntikkan dana. Dananya tidak harus untuk memenuhi syarat Rp3 triliun,” kata Piter.