Bisnis.com, JAKARTA — PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) melaporkan portofolio pembiayaan senilai Rp711,3 triliun sepanjang 2022. Sektor manufaktur berkontribusi paling besar menyerap kredit dari BCA.
Berdasarkan laporan publikasi, porsi kredit BCA untuk sektor manufaktur sepanjang 2022 mencapai 22,9 persen. Sementara, kredit untuk perdagangan mencapai 22,1 persen.
Kredit BCA untuk bisnis jasa mencapai porsi 13,1 persen, lalu sektor transportasi 6,6 persen. Sektor lainnya masing-masing untuk pertanian 5,8 persen, listrik gas dan air 1,7 persen, pelayanan publik 1,5 persen, serta pertambangan hanya 0,6 persen.
BCA sendiri mencatatkan penyaluran kredit secara keseluruhan Rp711,3 triliun sepanjang 2022 atau naik 11,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). "Capaian kredit BCA itu lebih tinggi dari target pertumbuhan 8-10 persen di 2022," kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja dalam paparan kinerja tahun 2022 BCA pada Kamis (26/1/2023).
Capaian kredit BCA itu terdorong oleh segmen korporasi yang naik 12,5 persen yoy menjadi Rp322,2 triliun pada 2022. Sementara kredit komersial dan UKM BCA naik 10,6 persen yoy menjadi Rp210,2 triliun dan kredit konsumer naik 11,7 persen yoy menjadi Rp171,34 triliun.
Sementara itu, BCA pada tahun ini akan menggenjot kredit di sejumlah sektor, salah satunya untuk hilirisasi industri pertambangan.
Baca Juga
"Upaya ini dilakukan juga untuk meningkatkan nilai tambah produk pertambangan dalam negeri sehingga berkontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional," kata Executive Vice President Corporate Communication & Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn.
BCA pun melihat prospek kredit untuk sektor ini masih cukup baik, khususnya untuk mendukung ekosistem industri mobil listrik.
Seiring dengan itu, pemerintah memang tengah gencar menggenjot hilirisasi industri pertambangan seperti timah dan bauksit. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada berbagai kesempatan menyebut akan menghentikan ekspor timah dan bauksit tahun ini.
Jokowi telah melarang ekspor bijih bauksit terhitung Juni 2023. Larangan itu dilakukan untuk mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri.
Sementara, pengembangan hilirisasi itu butuh pembiayaan. Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Ronald Sulistyanto mengatakan bahwa pembiayaan untuk hilirisasi itu dinilai masih kurang optimal.