Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) memperkirakan dapat mencetak 600.000 agen bersertifikasi dalam 3 tahun ke depan.
Dalam diskusi roadmap dengan regulator, industri asuransi umum diharapkan dapat merengkuh 1 juta agen dalam 2–3 tahun. Artinya, target agen asuransi umum yang diminta OJK berkurang 400.000 agen.
“Di roadmap OJK kemarin ada beberapa mengusulkan untuk kita bisa mencetak satu juta agen dalam waktu 3 tahun, tapi saya agak pesimis. Yang realistis saja, saya bilang 600.000 agen dengan encourage 2–3 tahun, kita bisa cetak agen profesional yang bisa memasarkan produk asuransi umum,” ungkap Ketua Umum AAUI Budi Herawan dalam kajian online ICAAI bertajuk 'Tanggung Jawab Perusahaan bila Agennya Berbuat Kecurangan', dikutip pada Minggu (2/7/2023)
Meski berkurang dari target, jumlah ini melonjak tajam karena agen di asuransi umum masih berkisar pada level di bawah 300.000.
Budi menuturkan usulan target agen ini realistis dapat dicapai seiring pemetaan internal di dalam organisasi. Menurutnya, asosiasi akan melakukan pembagian target jumlah agen kepada masing-masing perusahaan yang menjadi anggota.
"Asuransi umum yang memiliki kekuatan lebih dengan agen maka akan diminta lebih," kata Budi.
Baca Juga
Menurut Budi yang juga Direktur Utama Asuransi Candi Utama ini, keberadaan lembaga penjaminan polis (LPS) hingga Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) yang memiliki lembaga sertifikasi profesi menjadi bekal bagi asosiasi untuk menata industri asuransi umum menjadi lebih baik.
"Dalam undang-undang [perasuransian] peran agen sudah clear, sebaga saluran distribusi hingga ke pelosok," katanya.
Dengan peran ini, perusahaan asuransi bersama asosiasi dan regulator bertugas menjadikan agen lebih memahami produk yang dimiliki.
Budi menjelaskan agen di industri asuransi telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU No. 4/2014). Meski demikian, Budi tak mengelak rendahnya literasi dan inklusi terkait perasuransian membuat para agen asuransi umum belum maksimal dalam memasarkan produk asuransi ke calon nasabah.
“Di amanat UU 40 sudah clear, agen adalah salah satu saluran distribusi dan sudah diakui bisa masuk ke pelosok, namun belum maksimal [memasarkan produk]. Mungkin karena bingung mau menjual produk apa, karena kurangnya literasi dan inklusi, padahal produknya banyak,” pungkasnya.
Selain itu, Budi menekankan penataan biaya akuisisi yang logis. Pasalnya, seringkali kebijakan bonus agen yang diperoleh melalui produksi premi dalam jumlah tertentu tidak wajar secara bisnis.
"Misal, agen produksi Rp5 miliar dengan hadiah keliling Eropa. Maka kalau dihitung detail, rugi perusahaan asuransi, tapi itu tetap dilakukan agar prestise. Ke depan kita win-win saja [untuk komisi dengan mengedepankan] transparansi." katanya.