Bisnis.com, JAKARTA - Langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menambah batas modal minimum perusahaan asuransi menjadi Rp1 triliun pada 2028 menuai pro-kontra di kalangan industri asuransi di Indonesia.
OJK menilai peningkatan tersebut dibutuhkan untuk mendorong penguatan struktur, ketahanan dan daya saing industri perasuransian. Selain itu meningkatkan skala ekonomi pelaku industri dalam rangka menghadapi tantangan/tuntutan inovasi produk dan layanan asuransi berbasis teknologi.
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menuturkan pengelompokan kelas asuransi yang dilihat dari sisi permodalan. Pengelompokan ini layaknya yang terjadi di industri perbankan yang memiliki Kelompok Usaha Berdasarkan Modal Inti (KBMI). Regulator menerangkan bahwa nantinya pembagian kelas di industri asuransi tidak sebanyak di perbankan, melainkan hanya terdiri dari dua kelas asuransi.
Menurutnya, saat ini OJK sedang mengkaji pengaturan terkait klasifikasi perusahaan asuransi. Di samping itu, OJK juga sedang meramu rencana konsolidasi peningkatan permodalan perusahaan asuransi. Ogi menjelaskan bahwa pengelompokan kelas asuransi ini dilakukan untuk penguatan struktur ketahanan dan daya saing untuk menghadapi perusahaan asuransi skala global.
Lantas, apakah OJK akan "mematikan" perusahaan asuransi yang tak bisa penuhi modal Rp1 triliun?
Baca Juga
Ogi menegaskan bahwa perusahaan asuransi yang tidak memenuhi minimum modal tidak akan dimatikan. Menurutnya, jika berdasarkan data dari OJK sebagian besar sudah memenuhi minimum modal. Kemudian, perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi minimum modal akan masuk dalam KUPA (Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi).
"Itu kita buka jalannya, tidak dimatikan, tidak merger. Jadi, tetap seperti itu," jelas Ogi ketika ditemui dalam acara Indonesia Rendezvous Ke-27 di Nusa Dua Convention Center (NDCC), Bali, Kamis (12/10/23).
Ogi menjelaskan bahwa dalam KUPA nantinya terdapat asuransi induk, atau istilahnya sebagai holding, dan perusahaan-perusahaan yang modalnya tidak mencukup akan menjadi anggota.
Selain itu, dia mengatakan perusahaan asuransi yang modal intinya belum terpenuhi dapat memilih perusahaan induk sesuai dengan keinginan masing-masing.
"Jadi aturannya seperti itu, tapi memilih siapa perusahaan induknya terserah mereka. OJK tidak akan memaksa dan masing-masing dapat memilih perusahaannya," ungkapnya.
Lebih lanjut, Ogi menuturkan bahwa jika perusahaan-perusahaan yang tidak memenuhi modal tersebut diperbolehkan juga untuk mengajak mitra atau partner ke dalam KUPA.
Kelompok Usaha Perusahaan Asuransi
Dia juga tidak memperbolehkan perusahaan berdiri sendiri, lantaran asuransi memerlukan kapabilitas permodalan yang kuat, sehingga harus berinduk pada perusahaan asuransi agar semakin kuat. Hal ini dimaksud untuk memperkuat daya tahan, jika di kemudian hari dihadapkan gagal bayar.
Sebelumnya, Ogi menjelaskan bahwa nantinya terdapat dua Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas atau yang disingkat KPPE. Kelompok tersebut akan terbagi menjadi KPPE 1 dan KPPE 2, di mana OJK mengatur pengelompokan perusahaan asuransi dan nantinya akan ada pengaturan mengenai ekuitas.
"POJK-nya akan segera dikeluarkan tahun ini," ungkapnya.
Berdasarkan catatan Bisnis, OJK berencana untuk mengklasifikasikan perusahaan asuransi berdasarkan modal, sejalan dengan rencana penaikan modal minimum perusahaan asuransi dan reasuransi.
Ogi juga menuturkan bahwa modal perusahaan asuransi di Indonesia relatif sangat kecil sehingga perlu dilakukan penguatan permodalan industri asuransi. Adapun, OJK akan mengatur mengenai klasifikasi perusahaan asuransi berdasarkan modal inti seperti yang telah dilakukan pada industri perbankan.
Klasifikasi perusahaan asuransi berdasarkan modal inti tersebut nantinya akan berpengaruh terhadap kegiatan usaha.
“Dan kegiatan usahanya itu akan tergantung pada klasifikasi perusahaan asurani tersebut,” ujar Ogi.
OJK disebut akan menaikkan batas ekuitas modal minimum perusahaan asuransi secara bertahap dari semula Rp100 miliar menjadi menjadi Rp500 miliar pada 2026 dan Rp1 triliun pada 2028.
Kebijakan tersebut dilakukan lantaran modal minimum yang diatur di dalam Peraturan OJK (POJK) 67/2016 dinilai terlalu rendah dibandingkan dengan risiko usaha bisnis yang dijalankan perusahaan asuransi.
Di sisi lain, asuransi syariah modal ekuitasnya naik dari Rp50 miliar menjadi Rp250 miliar pada 2026, dan Rp500 miliar pada 2028. Tidak hanya itu, ekuitas perusahaan reasuransi juga akan naik secara bertahap.
Batas ekuitas modal minimum perusahaan reasuransi konvensional dari Rp200 miliar menjadi Rp1 triliun pada 2026, dan Rp2 triliun pada 2028. Sementara itu, untuk perusahaan reasuransi syariah dari Rp100 miliar menjadi Rp500 miliar pada 2026 dan Rp1 triliun pada 2028.
Adapun untuk perusahaan asuransi yang baru mendapatkan izin dari OJK akan disyaratkan untuk memiliki modal disetor minimum lebih tinggi dari perusahaan eksisting.
Untuk perusahaan yang baru mendapatkan izin, modal disetor perusahaan asuransi mencapai Rp1 triliun. Berikutnya, perusahaan reasuransi konvensional sebesar Rp2 triliun, perusahaan asuransi syariah Rp500 miliar, dan perusahaan reasuransi syariah menjadi Rp1 triliun.
Respons Pelaku Usaha
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mendukung rencana klasifikasi perusahaan asuransi berdasarkan minimal permodalan yang dimiliki seperti yang digulirkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu menjelaskan asosiasi telah mencoba mengusulkan kepada OJK agar perusahaan asuransi bisa mencapai minimal ekuitas sebesar Rp250 miliar pada 2026 dan bertahap hingga 2030 mencapai ekuitas minimal Rp500 miliar. Hanya saja, kata dia, OJK bersikukuh ingin tetap mengusulkan ketentuan permodalan hingga Rp1 triliun pada 2028.
"Kami sepakat aja, tapi diatur besaran nominal sama waktunya. Sementara ini masih akan ada diskusi dari OJK untuk win-win solution," ujarnya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, kemungkinan besar OJK menerbitkan payung hukum terkait dengan ketentuan batas minimum ekuitas tersebut pada bulan depan. Dia berpendapat rencana ini tidak akan berdampak besar kepada bisnis asuransi dengan meniru model yang ditetapkan sebelumnya oleh perbankan dengan ketentuan Bank Umum Kegiatan Usaha atau BUKU.
Togar juga mengharapkan dengan permodalan yang kuat, perusahaan asuransi masih berpotensi untuk bertumbuh dan bisa meningkatkan skala bisnisnya. Selain itu, dia meyakini dengan penambahan modal memang diperlukan bagi perusahaan asuransi di tengah era digital.
Direktur Eksekutif AAUI Bern Dwyanto mendukung upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka penyehatan dan penguatan industri asuransi. Termasuk, soal rencana klasterisasi, asosiasi akan berperan aktif terhadap diskusi yang ada terkait dengan hal-hal yang menjadi fokus industri saat ini.
Sejauh ini, dia menilai informasi mengenai model klasifikasi yang diberikan oleh OJK kepada industri masih terbatas sehingga masih memerlukan diskusi atau kajian lebih lanjut agar dapat diimplementasikan kepada industri.
"OJK sendiri masih mengkaji pengaturan tersebut, sehingga diskusi - diskusi lanjutan masih diperlukan antara OJK, asosiasi dan pelaku industri," katanya kepada Bisnis.
Di sisi lain, Pengamat Asuransi dan Dosen Program MM Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universtas Gajah Mada (UGM) Kapler Marpaung mengatakan bahwa modal bukan satu-satunta alat untuk membuat industri asuransi sehat.
“Karena ada fakta bahwa perusahaan-perusahaan yang besar itu yang tumbang modal mereka padahal cukup besar,” katanya dalam sebuah forum diskusi.
Kapler menjelaskan sejarah peningkatan permodalan memerlukan waktu yang tidak sedikit yakni 15 tahun. Aturan permodalan menurutnya pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 1992. Mulanya, permodalan perusahaan yaitu sebesar Rp3 miliar untuk asuransi kerugian dan Rp2 miliar untuk asuransi jiwa.
Kemudian pada 1999 diubah melalui PP Nomor 63, dari sana muncul modal Rp100 miliar untuk asuransi dan Ro200 miliar perusahaan reasuransi.
“Mungkin ini karena sudah terjadi krisis 1998 sehingga wacana itu menjadi penting di dalam menguatkan industri asuransi supaya sehat dan kuat,” terang Kapler.
Dia mengatakan bahwa kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan mengingat aturan sebelumnya pun baru 15 tahun terwujud. Kapler pun menilai perusahaan asuransi dengan modal besar juga tidak selalu menggunakannya untuk meningkatkan kapasitas. Artinya antara takut atau lebih senang menerima komisi reasuransi.
“Oleh karena itu, buat apa kenaikan modal yang sangat fantastis. Kalau pada akhirnya nanti hanya untuk ban serep. Padahal tujuannya bukan untuk itu,“ kata dia.
Tidak hanya itu, dia juga menyinggung terkait dengan pembagian kelas perusahaan asuransi berdasarkan permodalan. Kapler menilai bahwa perusahaan asuransi berbeda dengan bank, di mana masih ada reasuransi.
“Dengan kapasitas reasuransi yang baik masih bisa menerima pertanggungan yang besar itu, kita jangan lupa,” imbuhnya.