Respons Pelaku Usaha
Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mendukung rencana klasifikasi perusahaan asuransi berdasarkan minimal permodalan yang dimiliki seperti yang digulirkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu menjelaskan asosiasi telah mencoba mengusulkan kepada OJK agar perusahaan asuransi bisa mencapai minimal ekuitas sebesar Rp250 miliar pada 2026 dan bertahap hingga 2030 mencapai ekuitas minimal Rp500 miliar. Hanya saja, kata dia, OJK bersikukuh ingin tetap mengusulkan ketentuan permodalan hingga Rp1 triliun pada 2028.
"Kami sepakat aja, tapi diatur besaran nominal sama waktunya. Sementara ini masih akan ada diskusi dari OJK untuk win-win solution," ujarnya kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Berdasarkan informasi yang diterimanya, kemungkinan besar OJK menerbitkan payung hukum terkait dengan ketentuan batas minimum ekuitas tersebut pada bulan depan. Dia berpendapat rencana ini tidak akan berdampak besar kepada bisnis asuransi dengan meniru model yang ditetapkan sebelumnya oleh perbankan dengan ketentuan Bank Umum Kegiatan Usaha atau BUKU.
Togar juga mengharapkan dengan permodalan yang kuat, perusahaan asuransi masih berpotensi untuk bertumbuh dan bisa meningkatkan skala bisnisnya. Selain itu, dia meyakini dengan penambahan modal memang diperlukan bagi perusahaan asuransi di tengah era digital.
Direktur Eksekutif AAUI Bern Dwyanto mendukung upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka penyehatan dan penguatan industri asuransi. Termasuk, soal rencana klasterisasi, asosiasi akan berperan aktif terhadap diskusi yang ada terkait dengan hal-hal yang menjadi fokus industri saat ini.
Baca Juga
Sejauh ini, dia menilai informasi mengenai model klasifikasi yang diberikan oleh OJK kepada industri masih terbatas sehingga masih memerlukan diskusi atau kajian lebih lanjut agar dapat diimplementasikan kepada industri.
"OJK sendiri masih mengkaji pengaturan tersebut, sehingga diskusi - diskusi lanjutan masih diperlukan antara OJK, asosiasi dan pelaku industri," katanya kepada Bisnis.
Di sisi lain, Pengamat Asuransi dan Dosen Program MM Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universtas Gajah Mada (UGM) Kapler Marpaung mengatakan bahwa modal bukan satu-satunta alat untuk membuat industri asuransi sehat.
“Karena ada fakta bahwa perusahaan-perusahaan yang besar itu yang tumbang modal mereka padahal cukup besar,” katanya dalam sebuah forum diskusi.
Kapler menjelaskan sejarah peningkatan permodalan memerlukan waktu yang tidak sedikit yakni 15 tahun. Aturan permodalan menurutnya pertama kali diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 1992. Mulanya, permodalan perusahaan yaitu sebesar Rp3 miliar untuk asuransi kerugian dan Rp2 miliar untuk asuransi jiwa.
Kemudian pada 1999 diubah melalui PP Nomor 63, dari sana muncul modal Rp100 miliar untuk asuransi dan Ro200 miliar perusahaan reasuransi.
“Mungkin ini karena sudah terjadi krisis 1998 sehingga wacana itu menjadi penting di dalam menguatkan industri asuransi supaya sehat dan kuat,” terang Kapler.
Dia mengatakan bahwa kebijakan tersebut perlu dipertimbangkan mengingat aturan sebelumnya pun baru 15 tahun terwujud. Kapler pun menilai perusahaan asuransi dengan modal besar juga tidak selalu menggunakannya untuk meningkatkan kapasitas. Artinya antara takut atau lebih senang menerima komisi reasuransi.
“Oleh karena itu, buat apa kenaikan modal yang sangat fantastis. Kalau pada akhirnya nanti hanya untuk ban serep. Padahal tujuannya bukan untuk itu,“ kata dia.
Tidak hanya itu, dia juga menyinggung terkait dengan pembagian kelas perusahaan asuransi berdasarkan permodalan. Kapler menilai bahwa perusahaan asuransi berbeda dengan bank, di mana masih ada reasuransi.
“Dengan kapasitas reasuransi yang baik masih bisa menerima pertanggungan yang besar itu, kita jangan lupa,” imbuhnya.