Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) memberikan proyeksi arah penempatan investasi industri asuransi jiwa di era suku bunga tinggi.
Hal ini mengingat suku bunga yang terus merangkak sejak tahun lalu, seiring langkah bank sentral di dunia yang mengerek suku bunga, termasuk The Fed dan Bank Indonesia.
Di Indonesia sendiri, bank sentral memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 6% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20–21 Februari 2024.
Jika melihat data historis 2019–2024, angka BI rate tertinggi terjadi pada 19 Oktober 2023–21 Februari 2024 yang mencapai 6%. Kondisi ini juga pernah dirasakan pada 17 Januari 2019–20 Juni 2019.
Sementara itu, berdasarkan data histori bank sentral, BI rate terendah pernah mencapai 3,5% pada kurun lima tahun terakhir. Angkanya terjaga dari 18 Februari 2021–21 Juli 2022.
Kepala Departemen Investasi AAJI Rahmat Syukri mengatakan bahwa ramai analis memperkirakan suku bunga akan mengalami penurunan pada semester II/2024.
Baca Juga
“Terkait dengan industri, kalau industri itu adalah investor. Kalau suku bunga naik, tentunya ini menguntungkan, artinya bermanfaat untuk industri, karena pendapatan dari investasinya naik,” kata Syukri dalam Konferensi Pers Kinerja Industri Asuransi Jiwa Full Year 2023 di Jakarta, Selasa (27/2/2024).
Syukri mengungkapkan bahwa kenaikan suku bunga turut mempengaruhi kenaikan dari pendapatan investasi. Namun bagi peminjam, lanjut dia, akan menjadi beban karena beban makin bertambah.
“Tapi, industri di sini menempatkan investasi sebagai investor, sehingga bagi industri ini menjadi keuntungan tersendiri selain pendapatan premi, karena di industri asuransi itu ada dua, yaitu pendapatan premi dan pendapatan dari investasi,” ungkapnya.
Dalam hal instrumen investasi, Syukri mengatakan bahwa saat ini SBN menjadi penempatan investasi yang mayoritas ditempatkan perusahaan asuransi jiwa.
Sebab sebelumnya, penempatan investasi industri asuransi lebih banyak ditempatkan di reksa dana. Penurunan itu terjadi karena regulasi yang diatur Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Jadi, mungkin ada keterkaitan dengan suku bunga juga, tetapi lebih banyak terkait regulasi,” imbuhnya.
Dari segi strategi investasi, Syukri mengatakan, apabila melihat perkiraan analis yang memperkirakan suku bunga akan turun maka perusahaan asuransi akan lebih mendominasi penempatan investasi di SBN dan jangka panjang.
Jika melihat data AAJI, penempatan investasi di instrumen reksa dana turun 25,8% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp78,20 triliun pada 2023 dibandingkan tahun sebelumnya Rp105,35 triliun. Sementara itu, peningkatan signifikan di penempatan SBN dengan pertumbuhan 28,2% yoy dari Rp142,94 triliun menjadi Rp183,23 triliun.
“Jadi, ini sejalan juga dan bahwa ini bagus, dari industri masuk ke surat berharga dan timing yang pas, karena suku bunga tinggi bisa dikunci untuk jangka panjang, sehingga pendapatan akan menjadi stabil karena ditempatkan di jangka panjang,” ujarnya.
Namun, salah satu strategi umum yang dilakukan perusahaan asuransi adalah menempatkan investasi pada instrumen surat berharga, baik SBN maupun korporasi, dan sukuk jangka panjang.
“Di sisi lain, industri atau masing-masing perusahaan akan melihat likuiditasnya bagaimana. Kalau keperluan jangka pendek, baru ditempatkan di deposito seadanya. Jadi, arah instrumen investasi ada di surat berharga untuk sekarang ini,” pungkasnya.