Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengomentari soal naiknya kredit bermasalah (non-performing financing/NPF) perusahaan pembiayaan atau multifinance yang naik pada April 2024.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat NPF gross perusahaan multifinance mencapai 2,82% atau meningkat 0,38% secara tahunan (year on year/yoy) dengan NPF netto sebesar 0,89% yang mana meningkat 0,20% yoy.
Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno sepakat naiknya NPF tersebut tak ada hubungannya dengan berakhirnya restrukturisasi kredit Covid-19 perusahaan multifinance. Namun demikian, dia melihat bahwa naiknya kredit bermasalah tersebut lantaran faktor ekonomi.
Di tengah naiknya harga-harga barang pokok, lanjut dia, tidak sedikit masyarakat yang memilih untuk membayar kebutuhan pokoknya ketimbang membayar cicilan kredit.
“Ada hal-hal terkait pendapatan masyarakat dipakai untuk kebutuhan primer dulu kan karena beberapa harga bahan pokok naik dari beras gula dan lain-lain. Iya, lagi lesu [daya beli] banyak kebutuhan yang harus dipenuhi,” kata Suwandi saat dihubungi, Kamis (13/6/2024).
Suwandi pun berharap bahwa kenaikan NPF tersebut hanya fenomena sementara. Dia mendorong perusahaan pembiayaan untuk segera mengatasi NPF yang terjadi peningkatan. Selain itu, dia juga berharap harga kebutuhan pokok segera stabil.
Baca Juga
“Harapannya pemerintah bisa menstabilkan harga-harga bahan dasar, sehingga semakin banyak danannya yang untuk membayar cicilan,” ungkapnya.
Di sisi lain, OJK sebelumnya mengungkap naiknya tingkat kredit bermasalah perusahaan multifinance tak ada hubungannya dengan berakhirnya kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19.
“Peningkatan nilai NPF multifinance tidak ada kaitannya dengan restukturisasi covid,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya (PVML) OJK Agusman dalam jawaban tertulisnya, Selasa (11/6/2024).
Agusman mengatakan pihaknya telah mengimbau kepada industri atas potensi tren ini. Industri pun, kata dia, telah merespons hal ini dengan berbagai upaya. Upaya tersebut antara lain dengan melakukan penyesuaian pada parameter screening untuk memperkuat proses akuisisi. Kemudian menurunkan tingkat penerimaan debitur.
“Dan mengingatkan debitur sebelum jatuh tempo untuk mencegah keterlambatan pembayaran,” kata Agusman.
OJK sebelumnya menetapkan restrukturisasi kredit perusahaan pembiayaan atau multifinance berakhir pada 17 April 2024. Agusman menyebut restrukturisasi kredit multifinance awalnya dijadwalkan berakhir pada April 2023.
Hal ini diatur melalui Peraturan OJK (POJK) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Perubahan kedua Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
“Kemudian diperpanjang sampai dengan 17 April 2024 melalui Keputusan Dewan Komisioner OJK Nomor KEP—55/KDK.05.2022 tentang Penetapan Kebijakan Relaksasi Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank,” kata Agusman dalam jawaban tertulisnya, dikutip pada Kamis (4/4/2023).
Kala itu, Agusman optimistis kebijakan tersebut tidak akan mempengaruhi NPF industri multifinance. Dia menyebut apabila kebijakan restrukturisasi dihentikan pada 17 April besok, maka NPF Gross diproyeksikan hanya akan sedikit terdampak yakni sekitar 2,48% sampai dengan 2,55%.
“Dengan demikian industri perusahaan pembiayaan dinilai telah cukup siap secara fundamental pada saat normalisasi kebijakan dilakukan,” ungkap Agusman.