Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi update terkait perkembangan aturan hapus buku dan hapus tagih kredit macet UMKM. Harapannya, aturan tersebut dapat dirilis lebih cepat yaitu pada tahun ini.
Sebagaimana diketahui, aturan ini terus bergulir di tengah kenaikan kredit macet UMKM. Berdasarkan data OJK, rasio NPL UMKM mencapai level 4,27%, naik tipis dibandingkan bulan sebelumnya atau April 2024 di level 4,26%.
NPL UMKM juga membengkak cukup tinggi sepanjang tahun berjalan atau dibandingkan Desember 2023 yang masih di level 3,71%.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Edina Rae mengaku bahwa Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait hapus tagih UMKM masih dalam penyusunan.
Adapun, pembahasan terkait RPP ini sudah didiskusikan dalam rapat bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
“Format aturan sudah jelas, tinggal bagaimana nanti mungkin legal drafting secara detailnya aja sebetulnya. Nanti, tergantung nanti Bapak Presiden apakah mau menandatangani lebih cepat atau tidak, itu terserah pemerintah,” ujarnya usai agenda Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2024, Senin (29/7/2024).
Baca Juga
Lebih lanjut, Dian mengungkapkan sebenarnya hapus buku dan hapus tagihan kredit macet UMKM telah wajar dilakukan oleh perbankan swasta pada umumnya. Akan tetapi, hal yang membuat ini menjadi tantangan saat aturan ini diimplementasikan bagi bank BUMN.
Lamanya perilisan aturan ini, dia menyebut lantaran ada kekhawatiran bahwa penghapusan kredit macet bisa menyebabkan kerugian bagi negara dan berpotensi memicu permasalahan hukum, mengingat bank BUMN merupakan entitas milik negara. “Oleh karena itu tentu saya yakin semua aspek itu harus dipertimbangkan,” ujar Dian.
Dia juga mengungkapkan, bahwa pemerintah dan OJK perlu menemukan keseimbangan antara memberikan kepastian hukum agar UMKM makin terbantu dengan perlunya melindungi bank BUMN dari jeratan hukum.
Artinya, terdapat kerumitan dan sensitivitas dalam menangani operasional bank-bank pemerintah karena ketentuan hukum yang ada.
“Saya kira itu sesuatu yang sudah given [sudah ada dan harus diikuti] karena UU-nya begitu, walau apakah itu sesuai atau tidak sesuai dengan praktik bisnis, itu persoalan lain,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Utama BRI Sunarso mengungkapkan sejak adanya rencana hapus tagih, banyak nasabah yang sebelumnya lancar dalam pembayaran kreditnya meminta agar status kreditnya menjadi macet. Hal ini dilakukan agar mereka dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan hapus buku (write-off).
"Kalau itu terjadi, Himbara bisa bubar dan tidak bisa setor dividen ke negara,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Gedung DPR beberapa waktu lalu.
Meski dia menyebut penghapusan tagihan tidak mudah. Namun, jika nantinya sudah menjadi keputusan, pihaknya menjamin aturan tersebut akan tetap dilaksanakan.
Lebih lanjut, di tengah belum rampungnya aturan tersebut, dia pun meminta agar aturan dapat dirancang sedetail mungkin. Baginya, kejelasan aturan ini sangat penting. Pasalnya, bila aturan tersebut rancu, maka dapat merugikan negara.
“Kalau ditanya progress [hapus tagih kredit UMKM] nah [agar] UU itu bisa operatif masih butuh juklak paling tidak dalam bentuk PP. Jadi, nanti mohon PP ini diperhatikan [pemerintah],” ucapnya.
Selain BRI, Direktur Utama BNI Royke Tumilaar menekankan pentingnya persiapan matang dalam mengimplementasikan kebijakan hapus tagih terkait utang atau kredit. "Harus hati-hati lah. Itu kan nanti ada moral hazard. Pasti ada, enggak gampang gitu,” ujarnya.
Adapun, soal hapus buku sendiri, kata Royke, telah dilakukan perseroan dan pihaknya menjamin tidak memberikan pengaruh bagi kinerja bank pelat merah tersebut.