Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) menegaskan fungsi industri teknologi finansial peer-to-peer (fintech P2P) lending sebagai mitra dunia usaha, bukan cuma melayani pinjaman konsumtif belaka.
Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar menjelaskan bahwa sebagai bukti nyata kehadiran industri sebagai solusi alternatif pendanaan buat sektor produktif, pihaknya menghadirkan produk-produk UMKM penerima manfaat fintech lending pada AFPI CEO Forum 2024 baru-baru ini.
"Mulai dari beragam dari cemilan keripik, kerajinan tangan, kriya, serta apparel, dipamerkan pada booth fintech lending buat UMKM. Para UMKM ini telah terbantu mengembangkan usahanya melalui pendanaan yang didapat dari fintech lending," ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu (10/8/2024).
Sebagai bukti, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei 2024, dari total penyaluran pinjaman industri sepanjang Januari-Mei 2024 mencapai Rp112,81 triliun, sebanyak Rp37,91 triliun di antaranya tersalurkan untuk sektor produktif atau memiliki porsi 33,6%.
Sementara itu, berdasarkan total outstanding pinjaman aktif sebesar Rp64,55 triliun per Mei 2024, porsi outstanding buat UMKM perorangan mencapai Rp16,69 triliun, badan usaha UMKM Rp3,64 triliun, dan badan usaha non-UMKM Rp1,73 triliun. Artinya, peran industri fintech P2P lending merangkul kebutuhan pinjaman sektor produktif mencapai sekitar 34,1% dari total outstanding pinjaman aktif.
Ekonom senior sekaligus Anggota Dewan Penasihat AFPI Chatib Basri dalam acara itu menekankan bahwa Indonesia harus belajar dari India soal bagaimana membawa setiap warga punya kedekatan dengan disrupsi teknologi yang solutif, dan industri fintech P2P punya peran penting di dalamnya.
Baca Juga
Menurutnya, India punya kemiripan dengan Indonesia dari sisi jumlah penduduk yang besar, vibrant democracy, dan punya hambatan birokrasi yang menantang.
"Tetapi yang menarik dari India adalah mereka berhasil melakukan technology diffusion, membuat teknologi menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Dalam konteks ini, peran dari AFPI menjadi sangat krusial untuk meningkatkan produktivitas, untuk meningkatkan financial inclusion," ujarnya.
Pria yang sempat menjabat Menteri Keuangan Periode 2013-2014 itu juga mengingatkan para pemain terkait perspektif kondisi ekonomi global, dampaknya pada ekonomi Indonesia, dan bagaimana kondisi ekonomi Indonesia pasca pemilu.
"Kita mungkin berhadapan dengan kondisi di mana tingkat bunga masih akan relatif tinggi sampai dengan akhir tahun, dan ini punya dampak kepada industri fintech. Dalam kondisi seperti ini cost of fund akan menjadi relatif mahal, maka mau tidak mau setiap company fintech harus menerapkan strategi path to profitability," jelasnya.
Chatib menambahkan, walau di tengah berbagai guncangan dan tekanan ekonomi global, ekonomi Indonesia masih cenderung resilience dan dirinya cukup optimis akan proyeksi pertumbuhan ekonomi di kisaran 5% pada tahun 2024.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman mengakui pihaknya terus mencari cara demi mengatasi konotasi negatif fintech P2P yang di tengah masyarakat masih sering disebut sebagai pinjaman online (pinjol).
Padahal, industri betul-betul membantu perekonomian dan sektor keuangan yang menyentuh grassroot perekonomian untuk orang-orang dan pelaku usaha yang akses lending-nya masih terbatas.
"Fintech P2P lending pertumbuhannya mencapai 26% secara tahunan, berarti ini adalah institusi keuangan yang paling tinggi pertumbuhannya di negeri ini. Dengan kualitas NPL terjaga 2,7%, kami yakin ini adalah kerja keras dari pelaku ekosistem industri untuk membuat industri ini survive jangka panjang," ujarnya.