Bisnis.com, JAKARTA — Penurunan populasi kelas menengah atau middle class tengah menjadi sorotan. Terlebih sektor tersebut berkontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau perekonomian nasional.
Berdasarkan data badan pusat statistik (BPS), populasi middle class turun hampir 10 juta jiwa dari 57 juta menjadi 47 juta jiwa pada 2019—2024. Penurunan tersebut disinyalir karena pandemi Covid-19 dan melambungnya harga kebutuhan pokok, serta tidak didampingi kenaikan pendapatan masyarakat.
Ini dapat menimbulkan efek domino kepada sejumlah sektor, termasuk sektor pembiayaan. Ketua Umum Asosiasi Asuransi Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan bahwa penurunan populasi middle class tersebut sudah menunjukan dampak dengan adanya penurunan daya beli.
Hal tersebut juga menurunya sudah banyak disampaikan oleh pakar ekonomi. Dampak berganda tersebut tentunya juga berpengaruh terhadap industri pembiayaan secara keseluruhan.
"Ya tentunya karena masyarakat kita ini misalnya menunda dulu membeli kendaraan, karena banyaknya kebutuhan-kebutuhan lain yang harus diprioritaskan. Karena kan misalnya naik kebutuhan pokok, kebutuhan pokok didahulukan," kata Suwandi saat dihubungi Bisnis, Jumat (30/8/2024).
Tidak hanya sampai disitu, untuk pembiayaan yang sudah berjalan, Suwandi mengatakan kredit bermasalah atau non performing financing (NPF) akan berpengaruh. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada April 2024, nilai NPF gross perusahaan multifinance mencapai 2,82% atau meningkat 0,38% secara tahunan (year-on-year/YoY) dengan NPF netto sebesar 0,89% yang mana meningkat 0,20% yoy.
Baca Juga
"Dengan adanya peningkatan NPF akan ada tambahan biaya provisi atau pencadangan terhadap potensi kredit bermasalah. Nah ini tentu akan mengganggu profitabilitas daripada pendudukannya masing-masing," kata Suwandi.
Suwandi mengatakan apabila peningkatan NPF pada perusahaan cukup tinggi, perusahaan harus mencadangkan. Dengan pencadangan tentunya profitabilitas akan terganggu. Untuk mengantisipasi dampak penurunan middle class tersebut, Suwandi mengatakan perlu kerja bersama.
"Kerja bareng, pemerintah dapat menstabilkan harga. Sehingga masyarakat bisa melakukan pendapatan kembali terhadap masing-masih keuangannya. Jadi misal mau jual kendaraannya, kita bisa kendaraan baru lagi," ungkapnya.
Di sisi lain, praktisi dan pengamat industri pembiayaan dan otomotif Jodjana Jody mengatakan penurunan sektor kelas menengah tersebut berakibat terhadap kredit. Menurutnya untuk orang yang telah memiliki kredit pembiayaan, terlihat kemampuan bayar cicilannya menurun jauh.
Dia mengambil data NPF gross pada Desember 2023, di mana NPF gross pembiayaan mencapai 2,44%, kemudian per Juni 2024 telah memburuk ke angka 2,80%.
Sementara untuk yang mau mengambil cicilan, Jodjana mengatakan terjadi lebih banyak penolakan (rejection credit) yang cukup besar, karena kualitas aplikasi customer yang mengajukan kredit juga menurun sehingga jumlah kredit yang diterima menurun. Di sisi lain, Jodjana juga menyoroti naiknya transaksi judi online (judol).
"Tahun 2023, [judol] mencapai Rp327 triliun dan tahun ini bisa mencapai Rp900 triliun. Fenomena ini menandai bahwa masyarakat frustasi dengan situasi ekonomi dan mencari jalan pintas untuk mendapatkan penghasilan," kata Jodjana kepada Bisnis Jumat (30/8/2024).
Jodjana mengatakan ini juga diperparah dengan maraknya pinjaman online (pinjol) dan kredit macetnya juga luar biasa. OJK mencatat bahwa pada semester I ini saja, ada 19 pinjol yang memiliki kredit macet diatas 5%.
"Jadi beberapa fenomena di atas memberikan data adanya korelasi yang kuat antara pelemahan daya beli dan pengaruhnya ke kredit pembiayaan [multifinance]," ungkapnya.