Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan financial technology peer to peer (fintech P2P) lending PT Akseleran Keuangan Inklusif atau Akseleran terus memperkuat mitigasi risiko fraud sebagai salah satu langkah strategis menjaga kualitas portofolio perusahaan pada 2025 mendatang.
Group CEO sekaligus Co-Founder Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengungkapkan bahwa fraud menjadi ancaman serius yang dapat memicu peningkatan Non-Performing Loan (NPL) jika tidak diantisipasi dengan baik.
“Kalau di kami, fraud itu yang paling ngeri, yang bisa lead ke NPL. Makanya, mitigasinya melalui asesmen pinjaman secara prudent,” kata Ivan kepada Bisnis, pada Kamis (12/12/2024).
Pendekatan tersebut, menurutnya, telah menjadi fokus perusahaan sejak awal beroperasi dan akan terus dilakukan untuk memitigasi risiko gagal bayar secara konsisten. Selain asesmen yang hati-hati, Ivan mengatakan Akseleran telah memiliki manajemen risiko yang komprehensif untuk mengatasi potensi fraud.
Langkah-langkah tersebut meliputi pengawasan aktif dari Direksi dan Komisaris, pemeriksaan berkala oleh audit internal, serta penerapan standar operasional prosedur (SOP) khusus untuk manajemen risiko fraud. Lebih lanjut, Ivan menyebutkan bahwa regulasi yang ada saat ini sudah memadai untuk mengelola risiko.
“Terkait regulasi tambahan tampaknya tidak ada ya, sudah cukup. Yang penting itu pelaksanaannya,” kata Ivan.
Baca Juga
Dengan penerapan mitigasi risiko yang ketat, Akseleran optimis dapat menjaga kualitas pinjaman dan mempertahankan NPL pada tingkat yang rendah. “Solusi utama untuk gagal bayar adalah dengan melakukan asesmen pinjaman secara prudent. Dengan hal tersebut, maka gagal bayar bisa dimitigasi agar konsisten rendah. Ini jadi fokus kami dari awal dan akan terus kami lakukan,” tegas Ivan.
Adapun sampai akhir tahun, Akseleran menargetkan pendanaan sebanyak Rp3,4–3,7 triliun. Angka tersebut naik apabila dibandingkan dengan pendanaan pada tahun lalu sebesar Rp2,85 triliun. Tingkat wanprestasi kredit di atas 90 hari (TWP90) mencapai 0,14%. Angka tersebut jauh dari batas yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yakni 5%