Sebelumnya, Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) Bank Indonesia Solikin M. Juhro menuturkan tantangan penyaluran kredit dari sisi suplai yakni perlu diperkuatnya kapasitas intermediasi perbankan dalam menyalurkan kredit. Sayangnya, hal tersebut terganjal oleh kompetisi perolehan dana murah.
Sebagai informasi, pertumbuhan kredit pada April 2025 hanya mampu tumbuh sebesar 8,88% (year on year/YoY), lebih rendah dari capaian 9,16% pada Maret 2025.
“Tantangannya dari dulu memang seperti itu, tapi kalau ekonomi kuat, pasti orang banyak menabung [tak berebut DPK],” ujarnya dalam Taklimat Media di Gedung Thamrin BI, Senin (26/5/2025).
BI mencatat pertumbuhan DPK cenderung melambat dari 5,51% (YoY) pada awal Januari 2025 menjadi 4,55% pada April 2025. Kondisi ini mendorong persaingan dalam pendanaan antar bank dan perlunya memperluas sumber pendanaan lainnya di luar DPK.
Solikin pun mengamini saat ini daya beli masyarakat kelas menengah bawah belum kuat di tengah pendapatan yang menurun sehingga DPK juga ikut turun.
Untuk itu, bank sentral mengeluarkan kebijakan baru berupa peningkatan Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN) dari maksimum 30% menjadi 35% dari modal bank untuk memperluas pendanaan perbankan di luar DPK.
Baca Juga
Selain itu, juga kebijakan pelonggaran likuiditas dengan penurunan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) sebesar 100 bps dari 5% menjadi 4% untuk Bank Umum Konvensional (BUK), dengan fleksibilitas repo sebesar 4%, dan rasio PLM syariah sebesar 100 bps dari 3,5% menjadi 2,5% untuk Bank Umum Syariah (BUS).
Harapannya, kebijakan tersebut dapat mendorong penyaluran kredit dan pada akhirnya berdampak pada peningkatan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.