Bisnis.com, BOGOR – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan norma Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) inkonstitusional bersyarat berpotensi membuat kasus sengketa klaim asuransi semakin banyak. Alasannya, perusahaan asuransi tidak bisa lagi membatalkan pertanggungan sepihak. Sebagai gantinya, pembatalan pertanggungan asuransi hanya bisa dilakukan dengan dua mekanisme, yaitu kesepakatan bersama antara penanggung dan tertanggung, atau melalui putusan pengadilan.
Hendri Jayadi, akademisi dan pakar hukum pidana menilai perangkat lembaga arbitrase asuransi di Indonesia saat ini masih belum ideal jika harus menghadapi lonjakan sengketa klaim. Lembaga arbitrase asuransi adalah badan yang menyediakan layanan penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
"Proses mekanisme penyelesaian sengketanya nanti ketika putusan arbitrase keluar, lucunya di undang-undang alternatif perusahaan sengketa itu kalau keberatan terhadap keputusan arbitrase dapat mengajukan keberatan ke pengadilan. Ujung-ujungnya ke pengadilan lagi," kata Hendri dalam forum media gathering Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Bogor, Rabu (25/6/2025).
Hendri menjelaskan, lembaga arbitrase adalah lembaga yang bersifat ajudikasi, namun non-litigasi. Artinya, hasil putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang dapat dijadikan landasan, namun sifatnya sukarela.
"Dengan memaksanya [keputusan menjadi wajib dipatuhi], didaftarkan ke pengadilan. Lucunya, kalau dieksekusi di pengadilan terus pihak termohon keberatan, dia bisa mengajukan ke pengadilan juga. Tidak selesai-selesai perkara ini. Maka dari itu harus dibikin khusus [pengadilan khusus asuransi]," tegasnya.
Saat ini, lembaga yang menyediakan layanan arbitrase sengketa asuransi adalah Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK). LAPS SJK adalah lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didirikan pada 22 September 2020 oleh Self-Regulatory Organizations (SROs) dan asosiasi-asosiasi di lingkungan sektor jasa keuangan.
Baca Juga
Sebelumnya, lembaga arbitrase asuransi di Indonesia beroperasi di bawah Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI). Dahulu, lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan terdiri dari enam lembaga dengan spesifikasi khusus pada setiap sektor. Pada sektor perasuransian, lembaga ini adalah BMAI.
"Turun [downgrade] akhirnya. BMAI kan lembaga mediasi [khusus asuransi], jadi lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang lebih umum," ujarnya.
Sebagai solusi, Hendri menilai Indonesia perlu memiliki pengadilan khusus asuransi. Menurutnya, saat ini menjadi momentum yang pas agar pengadilan khusus asuransi didirikan di Indonesia.
Pertama, literasi dan inklusi asuransi di Indonesia sudah mulai meningkat. Kedua, banyak kasus penyelesaian sengketa klaim tidak dapat ditangani dengan efisien.
"Fenomena sekarang, nasabah susah klaim lalu mencari alternatif gugatan bawa ke pengadilan negeri, atau dilaporkan pidana, lalu ada yang gugat pailit dan sebagainya. Terjadi ketidakseragaman penyelesaian sengketa. Dengan adanya pengadilan khusus ini, menurut saya jadi lebih fokus dia, orang-orang yang khusus menangani itu, right man on the right place. Jadi hakim-hakimnya dapat materi khusus tentang menyelesaikan sengketa asuransi," pungkasnya.