Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Banyak Aral Adang Perbankan RI Semester II/2025, Kinerja Makin Berat?

Perbankan RI hadapi tantangan besar di semester II/2025, seperti permintaan riil yang belum merata, suku bunga, dan volatilitas komoditas.
Ilustrasi bank/shutterstock
Ilustrasi bank/shutterstock
Ringkasan Berita
  • Industri perbankan Indonesia menghadapi tantangan pada semester II/2025, termasuk permintaan riil yang belum merata, transmisi suku bunga yang tidak simetris, dan volatilitas komoditas.
  • Risiko kualitas aset dan kepatuhan terhadap regulasi seperti pemblokiran rekening terkait online gambling serta ketidakpastian global turut menambah beban operasional perbankan.
  • Strategi yang disarankan meliputi fokus pada kredit investasi proyek utilitas-logistik-jasa, pricing adaptive untuk menjaga NIM, dan peningkatan kapasitas siber serta AML/EDD sesuai arahan OJK.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom dari PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mengungkap sederet tantangan utama industri perbankan pada paruh kedua 2025. 

Josua mengatakan beberapa tantangan yang dihadapi perbankan pada semester II/2025 di antaranya permintaan riil belum merata, tercermin dari Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur yang masih berfluktuasi di zona kontraksi atau di bawah level 50. Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga menyebut bahwa prospek global melemah sehingga pertumbuhan domestik perlu terus didorong.

“Ini berpotensi menahan kredit modal kerja pada sektor manufaktur ekspor,” kata Josua kepada Bisnis, Jumat (8/8/2025).

Tantangan berikutnya yakni transmisi suku bunga dan margin. Josua menyampaikan suku bunga kredit turun mengikuti BI Rate, sementara suku bunga Dana Pihak Ketiga (DPK) mulai turun tetapi tidak selalu simetris. Dia mengatakan, tekanan margin bunga bersih (net interest margin/NIM) bisa muncul jika penurunan biaya dana lebih lambat dari pricing aset.

Berikutnya adalah konsentrasi sektoral dan volatilitas komoditas. Dia mengungkap, eksposur besar ke pertambangan/komoditas menguatkan pertumbuhan, tetapi juga menambah siklus risiko bila harga global berbalik.

Josua mengungkap kredit pertambangan merupakan salah satu yang paling ekspansif. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam laporannya mengungkap penyaluran kredit ke beberapa sektor tercatat tumbuh tinggi secara tahunan mencapai double digit pada Juni 2025.

Sektor itu yakni pertambangan dan penggalian yang tercatat tumbuh 20,69%, sektor jasa tumbuh 19,17%, sektor transportasi dan komunikasi tumbuh 17,94%, serta sektor listrik, gas dan air tumbuh 11,23%.

Josua juga menyoroti terkait risiko kualitas aset di portofolio bank. Meski kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) dan kredit berisiko atau loan at risk (LaR) membaik dan capital adequacy ratio (CAR) tinggi 25,81%, dia menyebut bahwa segmen UMKM masih dalam tahap normalisasi sehingga perlu adanya penguatan early warning dan penjaminan/penyertaan untuk mendorong penyaluran tanpa mengorbankan kualitas.

Di sisi lain, langkah OJK yang meminta perbankan untuk memblokir puluhan ribu rekening terkait online gambling serta penguatan Enhanced Due Diligence (EDD) dan keamanan siber dinilai penting, tetapi menambah operational load. “Kepatuhan ini penting tapi menambah operational load,” ujarnya.

Selain itu, ketidakpastian global usai diterapkannya tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) juga menjadi tantangan industri perbankan pada paruh kedua 2025.

Dia mengatakan volatilitas dolar AS dan imbal hasil United States Treasury (UST) berpotensi memengaruhi biaya dana valas dan sentimen portofolio.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, Josua menilai industri perbankan perlu fokus ekspansi ke kredit investasi proyek utilitas-logistik-jasa, selektif di modal kerja manufaktur berorientasi ekspor, dan mendorong kredit ritel beragunan seperti KPR/KPM, seiring pulihnya konsumsi. 

Kemudian, pricing adaptive untuk menjaga NIM, underwriting ketat di UMKM, sinergi penjaminan, serta meningkatkan kapasitas siber dan AML/EDD sesuai arahan OJK. 

“Likuiditas yang ample sejalan dengan akselerasi belanja pemerintah pusat dan kualitas aset yang sehat memberi bantalan untuk eksekusi strategi ini di semester II/2025,” pungkasnya.

Kondisi Perbankan Semester I/2025

Bank Indonesia (BI) sebelumnya melaporkan pertumbuhan kredit perbankan berada pada level 7,77% secara tahunan (year on year/YoY) pada Juni 2025.

Gubernur BI Perry Wajiyo menyebut bahwa laju pertumbuhan itu lebih rendah dari torehan per Mei 2025 yang sebesar 8,43% YoY. Realisasi ini juga melanjutkan perlambatan yang mulai pada Maret 2025.

Jika dirinci, pada Januari 2025, kredit masih tumbuh double digit sebesar 10,27% YoY dan Februari 2025 sebesar 10,30% YoY. Kemudian melambat mulai Maret 2025 sebesar 9,16%, dan berlanjut pada April dan Mei dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 8,88% dan 8,43%.

“Kredit perbankan pada Juni 2025 tumbuh sebesar 7,77% YoY, menurun dibandingkan dengan pertumbuhan Mei 2025 yang sebesar 8,43% YoY,” katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Rabu (16/7/2025).

Dia menjelaskan bahwa dari sisi penawaran, perkembangan ini dipengaruhi oleh perilaku bank yang cenderung berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Hal ini terjadi di tengah simpanan atau dana pihak ketiga (DPK) yang tumbuh meningkat menjadi 6,96% YoY pada paruh pertama tahun ini.

Menurutnya, perkembangan tersebut mengakibatkan bank cenderung menempatkan pada surat-surat berharga dan meningkatkan standar penyaluran kredit.

Dari sisi permintaan, perkembangan kredit juga dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi yang perlu terus didorong. BI juga menilai bahwa kredit sektor perdagangan, pertanian, dan jasa dunia usaha perlu ditingkatkan untuk mendukung pembiayaan ekonomi.

“Berdasarkan penggunaan, kredit investasi, kredit konsumsi, dan kredit modal kerja masing-masing tumbuh sebesar 12,53%, 8,49%, dan 4,45% pada Juni 2025,” lanjutnya.

Sementara itu, pembiayaan syariah tumbuh sebesar 8,37% YoY, sedangkan pertumbuhan kredit UMKM masih rendah sebesar 2,18% YoY hingga bulan keenam tahun ini. “Ke depan, Bank Indonesia akan terus mendorong penyaluran kredit perbankan, termasuk melalui kebijakan makroprudensial yang akomodatif,” tukas Perry.

Halaman
  1. 1
  2. 2
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro