Bisnis.com, JAKARTA - Kemunculan financial teknologi (fintech) semakin ramai di Indonesia. Tentu saja hal tersebut membawa warna baru bagi dunia finansial. Teknologi finansial menawarkan pelayanan yang lebih mudah dan lebih terjangkau untuk membantu menumbuhkan usaha masyarakat, atau bahkan perusahaan.
Kehadiran fintech di Indonesia turut membantu konsumen dalam memenuhi kebutuhan finansial. Bahkan layanan finansial perbankan juga menjadi lebih efisien akibat kemajuan teknologi. Adanya fintech juga menciptakan peluang dalam pelayanan dan inklusi keuangan.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Asosiasi Fintech Indonesia, jumlah perusahaan fintech berjumlah 165 perusahaan. Jumlah ini tercatat meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan jumlah fintech pada kuartal IV/2014 yang hanya berjumlah 40 perusahaan. Populasinya diproyeksikan dapat terus bertambah setiap tahun lantaran permintaan dari masyarakat yang semakin tinggi.
Guna menumbuhkan peran fintech di Indonesia, tentu butuh bantuan cepat dari pemerintah, baik dari segi regulasi maupun dari segi funding. Kedua hal tersebut dinilai menjadi poin penting untuk keberlangsungan bisnis fintech.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan dapat segera merampungkan regulasi terkait perizinan dan pengawasan layanan keuangan berbasis teknologi berjenis urun dana atau crowdfunding pada tahun ini.
"Sedang disiapkan tapi belum selesai, mudah-mudahan tahun ini selesai," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad.
Baca Juga
Muliaman mengatakan hal tersebut masih dalam finalisasi, otoritas masih mengkaji pola layanan keuangan dengan berbagai pihak seperti pemerintah, Bank Indonesia, dan juga para pelaku fintech. Apabila aturan tersebut sudah final, fintech berjenis crowdfunding dapat segera mendaftarkan diri kepada OJK.
Pasalnya, dari total 165 perusahan fintech yang terdaftar di Asosiasi Fintech Indonesia, kata Muliaman, 46% merupakan fintech jenis peer to peer lending (P2P lending). Oleh karena itu, OJK terlebih dahulu menerbitkan aturan terkait P2P lending melalui POJK No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Langsung Berbasis Teknologi Informasi.
Dia mengatakan sudah sebagian besar fintech telah mendaftarkan diri ke OJK, meski begitu izin secara resmi belum diberikan. Pasalnya, menurutnya OJK akan melihat dan mengevaluasi perkembangan perusahaan fintech dalam kurun waktu satu tahun.
"Mereka diberi waktu satu tahun untuk dites apakah model bisnisnya bisa jalan atau tidak itu yang namanya sandbox system, kalau jalan baru kami beri izin," jelasnya.
Di lain sisi, guna menunjang pengembangan dan pengawasan bisnis fintech, OJK juga telah membentuk unit khusus, yaitu pengembangan inovasi keuangan berupa hub fintech. Melalui hub fintech tersebut, OJK berusaha menampung saran untuk pengembangan, termasuk dari pakar forum fintech untuk memberikan masukan terhadap regulasi fintech.
Sedangkan, Accelarator Director Plug and Play Nayoko Wicaksono menilai seringkali terdapat mispersepsi yang berkaitan dengan regulasi dari otoritas. Terkadang perusahaan fintech takut untuk melaporkan kepada OJK lantaran adanya anggapan nantinya bakal dipersulit.
“Takut bicara dengan OJK karena nanti bakal bisa memajukan usaha atau justru mempersulit,” kata Nayoko.
Oleh karena itu, pihaknya berharap OJK dapat memberikan sosialisasi secara detail kepada perusahaan fintech bagaimana skema untuk memberikan reporting kepada OJK. Nayoko juga berharap OJK dapat memberikan sistem yang sederhana, sehingga perusahaan fintech tidak kesulitan.
Managing Director Moutain Kejora Ventures Sebastian Togelang mengatakan untuk menumbuhkan industri fintech di Indonesia, sangat penting untuk membangun ekosistem yang baik. Oleh karena itu perlu dukungan dari beberapa pihak baik pemerintah maupun perusahaan keuangan lainnya, sehingga dapat menumbuhkan funding dari luar negeri.
“Untuk funding sangat butuh bantuan dari luar negeri, karena tanpa dukungan funding fintech [fintech lokal] tidak dapat berkembang,” katanya.