Bisnis.com, JAKARTA - Pertumbuhan kredit dalam denominasi valuta asing (valas) konsisten melambat. Bank menahan diri menyalurkan kredit guna menjaga profil risiko.
Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan, per Mei 2019, total kredit valas yang diberikan oleh bank umum kepada pihak ketiga mencapai Rp792,84 triliun.
Realisasi itu tumbuh 10,6 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih lambat dibandingkan pertumbuhan Mei 2018 sebesar 12,4 persen (YoY).
Bahkan secara tahun berjalan (year-to-date/ytd) kredit valas hanya tumbuh 1 persen. Padahal pada periode yang sama 2018, kredit valas secara tahun berjalan tumbuh 3,4 persen.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Central Asia Tbk. Jan Hendra membenarkan bahwa perusahaan selektif dalam menyalurkan kredit valas.
“Kredit valas diberikan apabila memang debitur memiliki pendapatan sebagian besar dalam valas,” katanya kepada Bisnis, Selasa (20/8/2019).
Jan melanjutkan bahwa perusahaan sejauh ini hanya menjaga rasio kredit valas terhadap totap portofolio pembiayaan. Per Juni 2019, porsi kredit valas stabil pada kisaran 6 persen hingga 6,5 persen.
Perseroan mencatat portofolio kredit pada periode tersebut sebesar Rp565,2 triliun atau naik 11,5 persen yoy. Sebagian debitur bank adalah korporasi besar dengan penyerapan dana dalam denominasi rupiah.
Direktur Riset Centre of Economic Reform (CORE) Piter Abdullah memproyeksi bahwa kredit valas akan terus melambat hingga akhir tahun. Pasalnya dari perspektif makro, ekonomi global belum ada indikasi membaik.
Iklim bisnis bagi pelaku usaha, baik yang mengirim barang ke dalam atau ke luar negeri terbilang menantang. “Debitur valas biasanya ada dua, eksportir dan importir. Eksportir itu yang risikonya lebih rendah,” jelas Piter.
Dia melanjutkan bahwa eksportir paling banyak terkena dampak dari kondisi global yang kurang menguntungkan. Alhasil akan menahan diri untuk menyerap kredit dalam bentuk modal kerja, apalagi investasi.
Pada sisi lain importir memiliki risiko tinggi bagi bank karena menyerap kredit dalam bentuk valas, tetapi menerima pendapatan dalam bentuk rupiah.
“Dengan kondisi kurs seperti saat ini, eksposur ke mereka [importir] logikanya akan ditahan juga,” tambah Piter.