Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menyatakan bahwa terdapat indikasi kerugian sekitar Rp10,4 trilun dari transaksi saham dan reksa dana
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menjelaskan bahwa berdasarkan Hasil Pemeriksaan Investigasi Pendahuluan BPK terhadap Jiwasraya, terdapat aktivitas investasi yang tidak sesuai ketentuan kepada perusahaan berkualitas rendah.
Menurut Agung, analisis pembelian dan penjualan saham oleh Jiwasraya dilakukan secara pro forma serta tidak didasarkan atas data yang valid dan objektif. Selain itu, terdapat aktivitas jual beli dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized gross.
BPK pun menemukan adanya praktik jual beli secara negosiasi agar Jiwasraya dapat memperoleh harga tertentu yang diinginkan. Perseroan kemudian berinvestasi di saham dengan harga tidak wajar dan tidak likuid, dengan disembunyikan di beberapa reksadana dengan underlying saham.
"Indikasi kerugian sementara akibat transaksi [saham] tersebut diperkirakan sekitar Rp4 triliun. Lalu, indikasi kerugian sementara akibat penurunan nilai saham pada reksa dana, ini diperkirakan sekitar Rp6,4 triliun," ujar Agung pada Rabu (8/1/2020) di Kantor BPK, Jakarta.
Dia menjelaskan bahwa pada 30 Desember 2019, Kejaksaan Agung telah mengirimkan surat permintaan kepada BPK untuk menghitung kerugian negara secara keseluruhan pada kasus Jiwasraya. Permintaan tersebut ditindak lanjuti oleh pemaparan pihak Kejaksaan Agung kepada BPK.
Baca Juga
Menurut Agung, nilai keugian negara yang nyata dan pasti baru dapat ditentukan setelah BPK melakukan pemeriksaan investigasi dalam rangka perhitungan kerugian negara. BPK memerlukan waktu sekitar dua bulan untuk melakukan perhitungan tersebut.
Sebelumnya, Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin menyatakan bahwa terdapat kerugian negara Rp13,7 triliun per Agustus 2019 akibat tindak pidana korupsi di tubuh Jiwasraya. Menurutnya, jumlah kerugian asli akan lebih besar dari itu.