Bisnis.com, JAKARTA -- Penempatan uang negara yang dilakukan pemerintah ke sejumlah bank dinilai akan memberikan risiko bagi perbankan. Alih-alih bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah telah melakukan penempatan dana sebanyak tiga tahap. Pertama, pada Himpunan Bank milik Negara (Himbara) senilai Rp30 triliun yang dilakukan pada 25 Juni 2020 lalu. Kemudian, pada tahap dua, pemerintah menyalurkan penempatan dana ke tujuh BPD yakni Bank BJB, Bank DKI, Bank Jateng, Bank Jatim, Bank DIY, BPD Bali, dan Bank Sulut mulai akhir Juli 2020 senilai Rp11,5 triliun.
Pada tahap tiga, pemerintah menambah 3 bank syariah yakni BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri serta 4 BPD yakni Bank Sumut, Bank Sulselbar, Bank Jambi, dan Bank Kalbar dengan nilai total Rp5,8 triliun. Penyaluran kredit tersebut masih dalam proses karena baru diumumkan akhir pekan lalu.
Teranyar, pemerintah ternyata kembali melanjutkan penempatan uang negara di Himbara yang seharusnya berakhir pada bulan ini. Himbara menerima penempatan dana tambahan senilai Rp17,5 triliun sehingga total penempatannya menjadi Rp47,5 triliun.
Dalam penempatan uang negara tersebut, bank ditugaskan untuk menyalurkan kredit dengan target yang berbeda-beda. Target tersebut kontras dengan pertumbuhan kredit yang masih rendah yakni sebesar 1,04 persen pada Agustus 2020 dibandingkan periode sama tahun lalu (year on year/YoY).
Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani menilai kebijakan pemeritah tersebut membuat akan merugikan perbankan karena demand kredit sedang rendah. Pemerintah pun terkesan memaksakan kebijakan yang belum dibutuhkan oleh perbankan. Kebijakan ini pun bisa mendorong kanibalisme penyaluran kredit.
Menurutnya, kanibalisme penyaluran kredit tersebut terjadi karena rendahnya demand kredit memaksa bank untuk merebut pasar bank lain dalam menyalurkan pembiayaan. Kondisi ini pun yang menjadikan, di tengah realisasi penyaluran kredit bank penerima penempatan uang negara bisa tercapai, kredit tetap tidak tumbuh tinggi.
"Jadi, yang terjadi malah kanibal, kredit diambil dari bank, ada perpindahan debitur. Apalagi dengan penempatan uang negara bunga kredit bisa lebih rendah sehingga bank lain yang sudah punya pasar kredit akan berkurang karena bank seperti Himbara mengambil pasar bank lain," katanya kepada Bisnis, Senin (28/9/2020).
Selain itu, kebijakan ini juga akan meningkatkan risiko kredit bermasalah bagi bank. Pasalnya, pelaku usaha saat ini tidak bisa melakukan produksi secara normal sehingga ketika dipaksakaan mendapatkan tambahan kredit akan menambah beban usaha.
Petugas memindahkan uang/Dok. Antara
"Bahaya bagi ekonomi, ketika jatuh tempo, kemampuan bayar tidak sesuai kebutuhan sehingga nanti ketika bayar cicilan mereka kesulitan," katanya.
Menurutnya, kebijakan pemerintah yang mendorong penyaluran kredit ke bank-bank perlu diikuti dengan pembentukan permintaan. Misalnya, pemerintah membentuk demand dari proyek-proyek jalan tol maupun infratruktur lainnya.
"Jadi, ada demand side yang dijanjikan pemerintah dalam kondisi sekarang, yang bisa gerakkan ekonomi adalah government spending atau demand side lewat proyek-proyek," sebutnya.
Terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai penempatan tersebut tidak akan efektif untuk mendorong pertumbuhan kredit. Pasalnya, di tengah kondisi pandemi Covid-19, pertumbuhan kredit sudah dipastikan rendah dari sisi supply maupun demand.
Menurutnya, pemerintah pun terlihat ingin cepat memacu pertumbuhan ekonomi lewat penempatan uang negara tersebut. Di sisi lain pemerintah juga tidak berani mengambil risiko dengan memberikan bantuan langsung ke dunia usaha. Pasalnya, memberikan bantuan ke dunia usaha tidak menjamin dana tersebut akan kembali.
Alhasil, pemerintah dinilai lebih menjatuhkan pilihan untuk menempatkan dana di bank. Dengan hal tersebut, bank ditugskan menyalurkan kredit dengan dana dijamin akan kembali. "Tetapi risikonya kemudian dialihkan ke bank," katanya.
Sementara itu, Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto menjelaskan ada sejumlah alasan di balik langkah pemerintah tersebut. Pemerintah menilai kinerja penempatan dana pada Bank Himbara tahap pertama menunjukkan dana mampu di-leverage hingga Rp126,18 triliun atau lebih dari target tiga kali lipat. Bahkan, Himbara mampu memberikan modal usaha kepada lebih dari 1,661 juta debitur UMKM dan Non UMKM.
Selain itu, berdasarkan proposal bisnis Bank Himbara, Bank BPD dan Bank Syariah menyampaikan bahwa ruang untuk ekspansi kredit masih terbuka dan diperlukan oleh UMKM dan dunia usaha.
"Demikian pula berdasarkan data BPS dan OJK juga menunjukkan UMKM dan dunia usaha masih membutuhkan kredit modal kerja untuk menggerakkan perekonomian," katanya kepada Bisnis, Senin (28/9/2020).
Menurutnya, pemerintah pun menurunkan bunga penempatan uang negara. Sebelumnya, Himbara mendapatkan bunga 3,42 persen untuk penempatan tahap pertama.
Pada tahun kedua, penempatan dana di Himbara memiliki bunga 2,84 persen. Bunga tersebut juga berlaku untuk Bank BPD dan Bank Syariah lainnya yang mendapatkan dana serupa.
"Penempatan dana PEN dengan bunga rendah yakni 2,84 presen diharapkan dapat mendorong pemberian kredit dengan biaya rendah pula," sebutnya.