Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemerintah Anggarkan Rp6 Triliun untuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Cukupkah?

Presiden Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang (UU) 11/2020 tentang Cipta Kerja pada Senin (2/11/2020). Aturan yang diwarnai kontroversi itu memuat program baru dari jaminan sosial ketenagakerjaan yakni JKP, yang berfungsi sebagai 'pengganti' sebagian dana pesangon.
Peserta BP Jamsostek berada di ruang tunggu untuk mengurus klaim di Kantor Cabang BP Jamsostek di Menara Jamsostek, Jakarta, Jumat (10/7/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Peserta BP Jamsostek berada di ruang tunggu untuk mengurus klaim di Kantor Cabang BP Jamsostek di Menara Jamsostek, Jakarta, Jumat (10/7/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah menganggarkan paling sedikit Rp6 triliun untuk program Jaminan Kehilangan Pekerjaan atau JKP, sebagai subsidi pesangon bagi masyarakat yang kehilangan pekerjaan. Di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK, cukupkah dana tersebut?

Presiden Joko Widodo mengesahkan Undang-Undang (UU) 11/2020 tentang Cipta Kerja pada Senin (2/11/2020). Aturan yang diwarnai kontroversi itu memuat program baru dari jaminan sosial ketenagakerjaan yakni JKP, yang berfungsi sebagai 'pengganti' sebagian dana pesangon.

Jokowi menetapkan bahwa pemerintah akan menyuntikkan paling sedikit Rp6 triliun kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek selaku pelaksana program JKP. Suntikan dana dapat dilakukan karena omnibus law mengubah salah satu poin dalam UU 24/2011 tentang BPJS, yakni mengenai modal awal pelaksanaan jaminan sosial.

"Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk program JKP ditetapkan paling sedikit Rp6 triliun yang bersumber dari [Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara] APBN," tertulis dalam beleid tersebut.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mempertanyakan kecukupan dana Rp6 triliun itu untuk pelaksanaan program JKP. Saat ini memang belum ada Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan teknis program JKP, tetapi jika secara garis besar dana itu menurutnya belum cukup untuk memberikan manfaat bagi peserta.

Menurut Timboel, sebelumnya pemerintah menyampaikan bahwa program JKP akan memberikan manfaat dana tunai selama enam bulan kepada pekerja yang terkena PHK. Manfaat itu menurutnya akan membebani keuangan BPJAMSOSTEK karena badan tersebut tidak menarik iuran untuk program JKP.

"Memang kita harus menunggu PP itu, nilai dana tunainya [yang diterima pekerja] berapa. Apakah ketika ter-PHK saya dapat [gaji] maksimal selama enam bulan itu? Tapi kita dapat bayangkan bahwa jumlah PHK terus meningkat selama masa pandemi Covid-19," ujar Timboel kepada Bisnis, Rabu (4/11/2020).

Jika manfaat JKP yang diberikan itu sebesar jumlah penghasilan bulanan peserta, Timboel meyakini bahwa dana Rp6 triliun akan terserap dengan cepat. Adapun, jika manfaat yang diterima itu di bawah penghasilan peserta atau terdapat batasan tertentu, dikhawatirkan tidak membantu kondisi keuangan pekerja terkena PHK.

Kekhawatiran Timboel tersebut mengacu kepada besarnya jumlah PHK selama masa pandemi Covid-19 yang masih berpotensi terus bertambah. Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa hingga Juli 2020 sudah terdapat 3,6 juta pekerja yang terkena PHK.

Capaian angka itu terjadi dalam empat bulan masa pandemi Covid-19 di Indonesia, tetapi sudah melebihi jumlah PHK dalam beberapa tahun ke belakang. Kemenaker mencatat bahwa jumlah PHK tertinggi sebelumnya ada pada 2014, sekitar 77.700 orang.

Selain dari aspek manfaat peserta, Timboel pun meragukan keberlanjutan program JKP jika bergantung kepada dana Rp6 triliun. Alokasi dana tersebut menurutnya kecil jika dibandingkan dengan banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan.

UU Cipta Kerja memang mengatur tiga sumber dana JKP, yakni modal awal pemerintah senilai Rp6 triliun itu, rekomposisi iuran program jaminan sosial lainnya, dan/atau dana operasional BPJAMSOSTEK. Namun, menurut Timboel, gangguan keberlanjutan JKP justru bisa turut mengancam keberlanjutan BP Jamsostek jika opsi ketiga diambil.

"Mengacu kepada UU 24/2011, kalau ada masalah cashflow suatu program maka bisa menempatkan APBN, bisa dengan menaikkan iuran. Sekarang pemerintah mau tidak menaikkan iuran dari pemberi kerja untuk JKP? Kalau tidak mau, ya, bisa enggak dari APBN?" ujarnya.

BPJS Watch sendiri tidak dapat membayangkan berapa besar beban APBN jika program JKP bergantung kepada kas negara, pun tidak tergambar bagaimana dampaknya saat dana operasional dialokasikan untuk manfaat JKP.

"Jadinya peserta mengorbankan hak atas JHT-nya untuk membiayai JKP, padahal konteksnya JKP itu pesangon yang dialihkan dari pemberi kerja. Oke [pengalihan] ini diambil alih oleh pemerintah, harusnya dari APBN, jangan memotong hak peserta," ujar Timboel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper