Bisnis.com, JAKARTA - Perkembangan penyebaran Covid-19 selama lima bulan pertama tahun ini masih cukup signifikan menahan kegiatan ekonomi yang sempat optimistis di awal tahun.
Menurut data Bank Indonesia, Penyaluran kredit masih terkontraksi 2,28% (yoy) pada April 2021, meskipun dari sisi likuiditas perbankan siap menyalurkan dana untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi pemerintah.
Pemerintah menargetkan angka pertumbuhan ekonomi yang cukup optimistis untuk kuartal II/2021 di atas 7%. Sedangkan, sepanjang tahun 2021 diperkirakan produk domestik bruto (PDB) akan tumbuh di kisaran 4,1% - 5,1%.
Ekonom Senior INDEF Fadhil Hasan menjelaskan faktor utama penyebab rendahnya pertumbuhan kredit adalah masih terbatasnya permintaan masyarakat, di tengah pandemi. Sehingga meskipun likuiditas perbankan relatif longgar, perbankan tidak serta-merta bisa memangkas suku bunga pinjaman.
Padahal, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) relatif mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku industri perbankan melalui sejumlah kebijakan seperti restrukturisasi kredit, subsidi bunga pinjaman, kredit modal kerja baru, maupun langkah relaksasi pengawasan lainnya.
“Dari sisi iklim usaha, di mana OJK sangat berperan dalam hal ini, sudah cukup baik khususnya di kalangan industri perbankan, tetapi ini masalah permintaan masyarakat yang belum signifikan meningkat, sehingga dunia usaha juga masih menahan ekspansi bisnis,” jelas Fadhil dalam keterangannya, Jumat (28/5/2021).
Baca Juga
Kondisi perbankan secara nasional, dia berpendapat, masih cukup aman. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/ CAR) per Maret 2021 tetap tinggi di level 24,05%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/ NPL) tetap rendah, yakni 3,17% (bruto) dan 1,02% (netto).
Meski iklim atau kondisi sektor keuangan stabil, perbankan tetap akan menetapkan suku bunga kredit sesuai dengan mekanisme pasar, sehingga tidak ada jalan lain, selain mempercepat upaya pemulihan ekonomi, sehingga permintaan masyarakat meningkat dan pendapatan dunia usaha ikut naik.
Di sisi lain, paparnya, jika memang pemerintah menilai intermediasi perbankan perlu didukung dengan memangkas suku bunga pinjaman, Kementerian BUMN bisa memulainya dengan Bank Himbara. Jadi, selain iklimnya dijaga, juga ada intervensi yang dilakukan terhadap Bank BUMN. Namun ini perlu dilakukan dengan sangat hati-hati karena adanya pelaksanaan program restrukturisasi oleh Bank Himbara bagi BUMN- BUMN yang terdampak pandemi.
Selain itu, ujarnya, perbankan nasional masih belum maksimal dari sisi efisiensi, sehingga perlu dilakukan konsolidasi perbankan. Jumlah bank yang terlalu banyak menyebabkan persaingan mendapatkan sumber dana sangat besar, sehingga cost of fund juga tinggi.
Rendahnya penyaluran kredit juga dipengaruhi oleh kebijakan bank yang menempatkan dana di Surat Berharga Negara (SBN) karena return-nya lebih tinggi dan lebih pasti, sedangkan risikonya lebih kecil dibandingkan disalurkan kepada masyarakat. Sebenarnya, langkah ini juga memberikan insentif kepada pemerintah.
OJK Perkuat Pengawasan
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso, mengatakan kredit perbankan secara industri masih terkontraksi secara tahunan, tetapi secara bulanan sudah menunjukkan perbaikan.
Wimboh menjelaskan di tengah upaya semua pihak untuk mengejar percepatan pertumbuhan ekonomi, OJK terus memastikan rasio prudensial sektor keuangan terus terjaga dengan baik dalam kondisi yang stabil.
Kecukupan likuiditas di perbankan, ujarnya, juga terjaga dengan baik, terlihat dari indikator alat likuid/Non Core Deposit atau AL/NCD dan alat likuid/DPK per 21 April 2021 jauh di atas ambang batas, yaitu masing-masing 162,9% dan 35,17%. Sedangkan, DPK masih menunjukkan pertumbuhan yang tinggi yaitu sebesar 9,5% (yoy).
OJK, tambahnya lagi, akan tetap fokus memperkuat pengawasan dan surveilans secara terintegrasi guna mendeteksi potensi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan. OJK juga akan terus melakukan kebijakan yang bisa mempercepat pertumbuhan ekonomi.